JAKARTA - Puasa Ramadan adalah suatu peristiwa keagamaan yang dilakukan oleh umat Islam yang mu'min untuk mengubah kebiasaan atau perilakunya sehari-hari selama sebulan (29-30 hari) penuh.

Perilaku tersebut meliputi kebiasaan dalam melakukan makan, minum, tidur, olah raga, dan ritual ibadah. Kalau di luar bulan puasa Ramadan dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari, diubah menjadi malam hari.

Peringatan tersebut dikemukakan Kepala Instalasi Rawat Inap RS Tugu Ibu, Depok, dr. Setia Pribadi dalam acara Bincang Teras LPPM ATVI Spesial Ramadanbertema Tetap Jaga Kebiasaan Sehat Usai Lebaran yang ditayangkan via Channel Youtube Teras LPPM ATVI, Kamis (21/4) malam.

Menurut siaran persnya, acara yang dipandu dosenAkademi Televisi Indonesia (ATVI),Dian tersebut terselenggara atas kerja sama LPPM ATVI, Mastepedia.com, Taman Bacaan Masyarakat Bukit Duri Bercerita, dan didukung dua penerbit, Prenada Jakarta dan Mata Padi Yogya.

Menurut dokter Setia, akibat perubahan perilaku atau kebiasaan tersebut, tentu dapat juga mengakibatkan perubahan dalam mekanisme tubuh manusia, secara fisiologis baik fisik maupun mental. Diharapkan selama 30 hari melakukan puasa, akan terjadi keseimbangan (homeostasis) baru.

Contoh homeostasis, lanjut dokter yang akrab disapa Acing,adalah ketika kita tidak melakukan sarapan, akan terjadi penurunan kadar gula dalam darah, atau ketika kita melakukan olah raga berat akan mengakibatkan suhu tubuh meningkat dan tubuh mengeluarkan keringat.

Keringat yang keluar akan menyebabkan suhu tubuh menjadi dingin kembali. Ketika tubuh mendapatkan infeksi, bakteri atau virus, tubuh menjadi panas lemah. Banyak lagi keadaan yang membuat tubuh melakukan keseimbangan baru, ketika terjadi perubahan perilaku.

"Salah satu tujuan puasa pada bulan Ramadan, selain beribadah sebagai ketakwaan, juga terdapat kegunaan secara fisik menjadikan tubuh kita, mendapat 'tantangan' baru yang dapat berakibat tubuh menjadi lebih sehat," kata Setia yang juga Ketua Sub Komite Manajemen Risiko RS Tugu Ibu,

Ketika Ramadan usai, memasuki kebiasaan lama yang dijalankan sebelum puasa. Nah di sini titik kritis, di mana tubuh harus menyesuaikan kembali mekanisme fisiologisnya. dan akan terjadi keseimbangan baru (homeostasis).

Bagaimana menyikapi hal ini, supaya tetap sehat? tanya dokter Setia. Menurutnya, yang paling utama yang harus dipahami adalah bahwa "pola pikir" kita, atau cara kita bepikir bahwa kita telah terlepas dari "belenggu" puasa selama sebulan. Jadi layaknya orang yang telah terlepas dari suatu "ikatan" maka akan melakukan kegiatan yang berlebihan. Inilah yang seringkali menjadi persoalan.

Perilaku Berlebihan

Banyak orang datang ke IGD sebuah rumah sakit usai puasa dengan keluhan, sakit di bagian perut, seperti, mual, muntah, perih, melilit, seperti ditusuk-tusuk, diare, dan sebagainya.

"Semua itu terjadi karena tubuh kita mendapatkan perilaku yang berlebihan setelah puasa. Seperti makan yang berlebihan, yang mengandung komponen makanan yang menyebabkan meningkat iritasi (pedas, soda) atau lemak yang tinggi sehingga lambung dan usus harus bekerja lebih berat dalam proses mencernanya," papar Setia.

Mengakhiri perbincangan, dokter Setia mengatakan hendaknya jangan mengosumsi makanan yang pedas, berlemak secara berlebihan. Berilah waktu kepada sistem pencernaan untuk berusaha "memahami" kondisi yang selama bulan ramadan telah mencapai homeostasis.

"Begitu juga kebisaan kita melakukan olah raga, yang bisa jadi berubah ketika puasa dan usai puasa. Perlu dilakukan penyesuaian secara bertahap sehingga tubuh dapat menyesuaikan kembali kepada kebiasaan 'baru' usai puasa," katanya.

Baca Juga: