Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 beberapa waktu lalu.

Perppu itu mengatur tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/ atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Perppu ini banyak menuai kontroversi dari berbagai kalangan.

Ada yang mendukung penerbitan peraturan ini, dan ada pula yang menilai Perppu ini mengandung banyak kepentingan pemerintah dan memberikan imunitas kepada penyelenggara negara dalam mengelola keuangan di tengah wabah nasional ini.

Apa kepentingan atau urgensinya dari penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ini?

Untuk itu, Koran Jakarta mengupas masalah ini dengan pakar hukum tata negara Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Wicipto Setiadi. Berikut petikannya.

Bagaimana Bapak melihat Penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ini?

Perppu pada prinsipnya bentuknya merupakan Peraturan Pemerintah (PP). Tapi dari sisi substansinya merupakan materi muatan Undang-Undang (UU). Dasar hukumnya adalah Pasal 22 UUD 1945.

Dilihat dari sisi kewenangannya, Perppu merupakan kewenangan Presiden dengan syarat adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa. Jadi, ada hal ihwal yang memaksa, maka Presiden berwenang mengeluarkan Perppu dengan substansi yang secara subjektif merupakan kategori memaksa.

PP (yang sifatnya sementara) tersebut akan menjadi UU (yang permanen) manakala disetujui oleh DPR. Manakala DPR tidak menyetujuinya maka Perppu tersebut harus dicabut dengan UU. Dari sisi substansi bisa ada pro-kontra, tapi dari sisi kewenangan, merupakan kewenangan mutlak Presiden. Kontrolnya sepenuhnya ada di DPR, akan disetujui atau tidak. Kalau disetujui maka kondisi kegentingan memaksa menjadi hilang/normal.

Apakah Bapak melihat pandemi Covid-19 ini sudah termasuk genting sehingga diterbitkan perlu Perppu tersebut?

Menurut saya memang sudah termasuk genting. Idealnya yang diatur dalam Perppu tidak hanya masalah keuangan saja, tetapi segala hal yang terkait dengan pencegahan dan penanggulangan Covid-19, tidak parsial.

Perkiraan saya, kalau Covid-19 belum reda juga akan muncul Perppu lagi yang mengatur sektor lain, selain keuangan.

Seharusnya dalam Perppu tersebut terkadung apa saja?

Seharusnya di awal waktu korona baru muncul dan substansinya juga tidak hanya mengatur masalah keuangan saja. Tetapi lebih luas yang intinya pengaturan mengenai pencegahan, penangulangan, dan penindakan termasuk larangan-larangan yang sekarang ada.

Idealnya pengaturan larangan mudik, larangan keluar rumah, larangan berkerumun dan sebagainya menjadi materi muatan UU, bukan muatan peraturan di bawah UU.

Jadi, idealnya disusun Perppu yang komprehensif yang meliputi berbagai sektor dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 beserta langkah-langkah pemulihannya.

Pasal 27 banyak menimbulkan pro-kontra yang memberikan imunitas atau kekebalan pada pejabat negara, bagaimana tanggapannya?

Untuk ketentuan Pasal 27, saya berpendapat penegak hukum masih tetap bisa bertindak bila ada iktikad tidak baik dari aparat Kementerian Keuangan. Jadi, aparat Kemenkeu tidak sepenuhnya kebal asal penegak hukum bisa membuktikan kebijakan yang dikeluarkan dipengaruhi oleh iktikad tidak baik. Memang agak kabur juga ketentuan (Pasal 27) tersebut, apa yang dimaksud dengan iktikad baik.

Jika nantinya ada penyelewengan dalam pelaksanaan Perppu ini, apa yang harus dilakukan?

Kalau ada penyelewengan berarti ada iktikad tidak baik. Hal seperti ini menurut saya tetap dapat dilakukan penegakan hukumnya.

Diterapkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan. Misalnya, kalau terjadi korupsi berlaku UU tentang Tipikor dan sebagainya. Bahkan dapat menjadi pemberat hukuman karena dilakukan dalam kondisi bencana.yolanda permata putri syahtanjung/P-4

Baca Juga: