Oleh Sumiati Anastasia

Terorisme masih menjadi masalah terbesar dunia. Berbagai aksi teror yang sangat biadab masih marak pada 2017 yang sungguh melukai kemanusiaan.

Tepat hari pertama tahun 2017, seorang pria bersenjata melepaskan tembakan di dalam sebuah klub malam di Istanbul. Peristiwa ini menyebabkan 39 orang tewas. ISIS mengklaim bertanggung jawab (The Guardian, 2/1)

Menabrakkan kendaraan ke kerumunan atau pejalan kaki menjadi modus baru para teroris. Banyak pejalan kaki tewas. Misalnya, di Jembatan Westminster, Inggris, empat orang meninggal (22/3), di pusat perbelanjaan di Stockholm, Swedia, tiga orang tewas (7/4). Kemudian, di Barcelona 13 tewas (17/8). Di jalur sepeda di dekat World Trade Center, New York, delapan orang tewas dan 11 lainnya luka-luka (1/11)

Stasiun kereta, konser musik, gedung parlemen, jembatan, gereja, bahkan masjid menjadi sasaran para teroris. Ledakan stasiun bawah tanah di St Petersburg, Russia menewaskan 10 orang (3/4). Bom meledak di akhir konser Ariana Grande di Manchester Arena dan menewaskan 22 orang (22/5). Kemudian serangan pada umat Kristen Koptik Mesir menewaskan 23 orang (26/5). Selompok teroris menembak dan mengebom di Masjid Al-Rawdah, Kota El- Arish, Sinai Utara, Mesir, Jumat (24/11). Jumlah korban tewas mencapai 305 orang.

Kita tidak boleh lupa, aksi teror yang mengakibatkan perang di Marawi, Filipina. Tentu saja, jangan lupa serangan teror pada para polisi di Tanah Air. Misalnya, Briptu (anumerta) Imam Gilang Adinata menjadi salah satu dari tiga polisi korban ledakan bom Terminal Kampung Melayu (24/5)

Itu hanya beberapa contoh serangan teror tahun ini. Terlalu banyak jika hendak disebutkan seluruhnya. Sayang, dalam menghadapi terorisme, tampaknya berbagai pemerintahan dunia seolah hanya bertindak sebagai pemadam kebakaran. Mereka tidak tahu secara tepat cara mengatasi dan mengantisipasi terorisme. Akibatnya, setelah terjadi satu teror, selalu disusul aksi berikutnya.

Merebut Hati

Meski ada bebeberapa tulisan mengajak kita memahami terorisme, sungguh hingga kini, tidak bisa paham akan aksi biadab mereka. Mungkin benar sekali adagium homo homini lupus Thomas Hobbes. Kini, persoalan terorisme kian rumit. Mereka gemar mengaitkan aksi dengan agama.

Batas antara terorisme dan agama jadi kabur. Atau mungkin telah terjadi penjungki rbalikkan nilai. Bayangkan, dulu disepakati, membunuh orang sebagai tindak kejahatan. Kini, malah jadi tindakan yang dipuja-puja, setidaknya oleh para pendukung terorisme.

Maka, perlu mengapresiasi sikap 130 imam dan para pemuka agama Islam Inggris yang menolak menyalatkan pelaku penyerangan di Jembatan London yang menewaskan tujuh orang dan melukai 48 lainnya, Sabtu (3/6). "Ini disebabkan tindakan yang tak dapat dibenarkan dan sama sekali bertentangan dengan ajaran agama Islam," demikian pernyataan yang dirilis The Independent (6/6).

Pengaitan terorisme dan agama membuktikan, perlawanan menghadapi terorisme memang sudah memasuki kawasan yang lebih substantif lagi. Ini tidak semata-mata konflik fisik, tapi sudah memasuki gagasan atau adu kekuatan untuk merebut hati dan pikiran banyak orang. Maka, sikap para imam dan pemuka agama Islam Inggris itu sungguh perlu didukung. Sebab lebih sesuai dengan akal sehat dan nilai-nili moral universal bahwa terorisme itu jahat. Ini demi meng-counter pendapat sebagian pemuka agama (termasuk di Tanah Air), yang justru memuji aksi terorisme sebagai tindakan mulia. Bangsa patut prihatin banyak ceramah para guru agama penebar kebencian. Bahkan termasuk di sekolah-sekolah dasar, kampus-kampus yang berisi ajaran-ajaran mendukung radikalisme dan terorisme. Ini menyedihkan sekali. Terorisme yang kekejamannya atas para korban di luar batas kemanusiaan, justru mendapat dukungan dan pembenaran.

Menurut para konseptor terorisme, sebagaimana para guru ngaji atau agama yang terlibat dalam bom Kampung Melayu, juga para guru terorisme di mana pun, mereka sedang berada dalam peperangan global (konsep cosmic war) antara yang baik dan jahat. Para teroris selalu merasa berjuang di jalan kebaikan. Bahkan mereka merasa ajaran agama dan Tuhan mendukung aksi tersebut. Malah guna menyebarkan gagasan tersebut, para teroris membuat ratusan situs berisi ajakan untuk masuk surga dengan menjadi pembom bunuh diri. Teknik membuat bom-pun diajarkan dengan jelas. Namun kita jangan tergoda menyamakan terorisme dengan agama (Islam). Paus Fransiskus dalam berbagai kesempatan selalu menolak menyamakan Islam dengan terorisme. "Saya yakin, tidak benar untuk menyamakan Islam dengan kekerasan," tegas dia seperti dikutip AFP (1/8/2016).

Pernyataan Paus sebenarnya hendak menggarisbawahi, terkait terorisme, musuh bersama, bukan umat beragama lain. Jika menyamakan Islam dengan terorisme, pasti akan terjadi kekacauan luar biasa seperti dikehendaki para teroris. Jadi mari belajar bijak seperti Paus Fransiskus agar tidak masuk jebakan teroris.

Mari jadikan terorisme sebagai musuh bersama sebagai kejahatan luar biasa yang mematikan dan menyengsarakan. Banyak korban terorisme Tanah Air, seperti Bom Bali I dan II, hingga kini cacat fisik permanen dan trauma berkepanjangan. Adakah yang peduli pada penderitaan mereka?

Jadi daripada kita terbelah menyikapi terorisme, mari bersatu dan bersinergi menghadapinya. Namun, jangan lupa terorisme tidak bisa diselesaikan satu pihak. Para tokoh agama, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Tim Densus 88 tak bisa bekerja sendiri-sendiri. Perlu sinergi banyak pihak: pemerintah, media, pengguna medsos, pengurus RT/RW, dsb. Dengan begitu, kita bisa menang lawan teroris, khususnya dalam peperangan wacana merebut hati dan pikiran.

Akhirnya, terpenting, DPR juga jangan lamban merevisi Undang-Undang Terorisme. Kelambanan ini membuat Densus 88 hanya bisa menangkap para pelaku aksi teror lapangan. Para guru yang telah menebarkan ajaran teror dan kebencian tak bisa disentuh hukum.

Revisi diperlukan agar ada tindakan antisipatif mengatasi terorisme yang bisa dilakukan aparat keamanan. Ini penting dilakukan, agar Densus 88 tidak sekadar bertindak sebagai "pemadam kebakaran" dalam menghadapi terorisme.Penulis Lulusan S2 University of Birmingham

Baca Juga: