Pemanfaatan empedu sebagai obat telah dimulai sejak jaman dinasti Zhou (500 tahun Sebelum Masehi) di Tiongkok kuno. Empedu dari berbagai hewan seperti empedu anjing, ikan, ular phyton, beruang, ox, bebek, tikus, mencit dan lain-lain, dan beberapa komponen empedu dikombinasikan dengan obat herbal dan bahan lainnya telah digunakan selama berabad-abad sebagai komponen traditional chinese medicine (TCM) untuk mengobati penyakit infeksi maupun non infeksi, baik kronis maupun akut, termasuk malaria.
Empedu hewan telah dilaporkan dapat meningkatkan fungsi hati, melarutkan batu empedu, menghambat multiplikasi bakteri dan virus, serta menunjukkan efek antiinflamasi, antipiretik, antioksidan, obat penenang, antikonvulsif, antialergi, antikongestif, antidiabetik, dan antispasmodic.
Cairan empedu adalah merupakan bahan kimia yang unik karena bersifat amphipathic, yaitu mengandung asam empedu hidrofobik dan hidrofilik yang mempunyai sifat berlawanan. Asam empedu hidrofobik bersifat toxic karena meningkatkan polaritas dan fluiditas lipid, dan menyebabkan kerusakan membran sel.
"Sebaliknya empedu hidrofilik bersifat antiseptic ringan, mampu membalikkan efek, dan melindungi terhadap toksisitas asam empedu hidrofobik. Di satu sisi, asam empedu bersifat racun, namun di sisi lain menetralisir racun tersebut," ujar Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Heny Arwati.
Dalam pidato pengukuhannya baru-baru ini, Heny menyebutkan bahwa selama ini, pengobatan malaria di Indonesia menggunakan Artemisinin Combination Therapy (ACT) sesuai yang direkomendasikan oleh WHO, namun sebagian masyarakat Indonesia mengkonsumsi empedu untuk mencegah dan mengobati malaria.
"Bahkan pada peringatan Hari Raya Idul Adha, sering kita jumpai empedu kambing dikonsumsi oleh sebagian masyarakat Indonesia pada saat penyembelihan hewan korban dengan tujuan untuk meningkatkan stamina," katanya.
Menurut Heny, etnomedicine (pengetahuan lokal berbagai etnis dalam menjaga kesehatan masyarakat) sering dianggap sebagai pilihan utama untuk mengobati penyakit di negara-negara berkembang karena mudah terjangkau dan dapat diakses dari sumber-sumber alami yang tersedia.
Dalam penelitian malaria, lanjtnya, model eksperimental malaria pada mencit, telah banyak digunakan dalam upaya memahami biologi, imunologi dan patologi malaria manusia. Penelitian cairan empedu kambing (CEK) untuk antimalaria pada hewan coba mencit telah dimulai sejak 2012. "Empedu kambing yang digunakan harus yang baru diisolasi dari kambing dan yang berukuran 7-10 centimeter," ungkapnya.
Kajian toksisitas CEK menunjukkan bahwa, terjadi diare ringan pada mencit yang diberi CEK 100 persen, dan sembuh dalam 2 hari. Hasil laboratorium darah menunjukkan bahwa jumlah sel darah merah dan putih tidak terpengaruh oleh pemberian CEK 100 persen, 50 persen dan 25 persen. Demikian juga dengan fungsi hati yang ditunjukkan oleh kadar enzim aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotransferase (ALT) yang normal, dan fungsi ginjal yang ditunjukkan oleh kadar BUN dan kreatinin normal.
"Kajian ini menunjukkan, asam empedu kambing pada konsentrasi 100 persen mampu membunuh parasit malaria mendekati keampuhan obat anti malaria dihiroartemisisnin-piperquin," terangnya.
Efek CEK terhadap imunitas hospes menunjukkan bahwa, CEK menekan kadar antibody IgG karena asam empedu memiliki kemampuan menekan imunitas tubuh. Tetapi CEK pada semua konsentrasi mampu meningkatkan kadar sitokin proinflamasi, tetapi CEK 50 persen dan 25 persen mampu meningkatkan sitokin antiinflamasi untuk melawan infeksi.
Menurutnya, leningkatan sitokin proinflamasi berhubungan dengan gejala diare yang timbul setelah diberi perlakuan CEK. Pemberian CEK yang lebih dari 8 hari menimbulkan diare cair parah dan pembengkakan di seluruh usus.
"Penelitian ini telah membuktikan bahwa CEK benar mempunyai aktivitas antimalaria dengan beberapa konsekwensi imunitas tubuh yang diakibatkannya. Oleh karena itu empedu kambing berpotensi dikembangkan menjadi obat antimalariaasli Indonesia yang perdu didukung oleh pemerintah maupun semua pihak terkait," terangnya.
Dia menambahkan, kantung empedu atau kandung empedu (gallbladder) adalah organ berbentuk buah pir untuk menyimpan cairan empedu disimpan sebelum disekresi ke dalam usus dua belas jari untuk digunakan dalam proses pencernaan.
Cairan empedu merupakan enzim pencernaan berwarna kuning atau hijau kecoklatan yang dihasilkan oleh liver, mengandung kolesterol, air, asam empedu, pigment bilirubin, dan garam empedu.
Empedu berperan membantu proses pencernaan, terutama dalam pemecahan lemak, membantu proses penyerapan vitamin yang larut pada lemak, mengeliminasi produk sisa pencernaan, dan membuang racun yang ada pada tubuh.
"Berdasarkan hasil penelitian ini, direkomendasikan juga kepada masyarakat yang gemar mengkonsusmi empedu kambing untuk stamina agar lebih berhati-hati dalam memilih empedu yang berukuran lebih kecil dan bisa ditelan dengan mudah, dan tidak terlalu sering mengkonsumsi empedu kambing karena dikhawatirkan akan menimbulkan efek toksik yang lebih besar dibandingkan dengan efek benefitnya," pungkas dia.