Untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah, ekspor harus menjadi orientasi dalam perencanaan ekonomi.

JAKARTA - Sejumlah akademisi memperkirakan Indonesia akan sulit keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap menuju ke negara berpendapatan tinggi atau maju.

Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Eugenia Mardanugraha, di Jakarta, Kamis (2/11), mengatakan sulitnya RI melangkah lebih tinggi menjadi negara maju karena aktivitas produksi yang tidak efisien. Selain itu, pertumbuhan ekonomi hanya mengandalkan sektor-sektor tertentu saja, serta rumah tangga terlalu konsumtif dan terlalu banyak impor.

Eugenia menjelaskan middle income trap merujuk pada situasi di mana negara yang telah mencapai pendapatan per kapita di kisaran kategori pendapatan menengah (middle income) mengalami kesulitan untuk naik ke tingkat pendapatan yang lebih tinggi dan berlanjut menjadi negara berpendapatan tinggi.

"Negara-negara yang terjebak dalam middle income trap umumnya menghadapi tantangan ekonomi yang membuat mereka kesulitan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Indonesia mungkin saja terjebak dalam middle income," katanya.

Untuk keluar dari jebakan tersebut, masyarakat Indonesia harus lebih banyak berproduksi dan menurunkan impor. "Ekspor harus menjadi orientasi dalam perencanaan ekonomi," katanya.

Termasuk juga tenaga kerja Indonesia harus meningkatkan kualitasnya, dan lebih banyak yang bekerja di luar negeri. Mengenai berapa lama Indonesia dapat keluar dari jebakan tersebut, dia mengaku sangat sulit untuk diprediksi, bisa cepat atau lambat bergantung dari perubahan gaya hidup masyarakat dan kemampuan tenaga kerja untuk beradaptasi dengan permintaan pasar internasional.

Optimisme Semu

Di kesempatan lain, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan ada banyak masalah di pengelolaan ekonomi dalam negeri sehingga potensi kegagalan Indonesia menjadi negara maju terlihat sangat nyata.

Bhima mengatakan dengan mengacu pada perhitungan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, untuk menjadi negara maju, maka rata-rata pendapatan masyarakat harus mencapai 10 juta rupiah per bulan.

Jika dihitung dari rata-rata kenaikan pendapatan masyarakat Indonesia saat ini, baru pada 2092 Indonesia bisa jadi negara maju.

"Tahun 2092 bayangkan. Berarti kan hampir mustahil di 2045 jadi negara maju. Itu cuma retorika saja untuk membangun optimisme semu," kata Bhima.

Masalah utama Indonesia untuk mencapai Indonesia Emas 2045 ada pada kelemahan institusi yang dirundung korupsi dan macetnya industrialisasi yang sering diungkapkan oleh berbagai ahli salah satunya Daron Acemoglu dan Dani Rodrik.

"Sekarang korupsi dan nepotisme menjadi terlembagakan, bahkan muncul fenomena desentralisasi korupsi sampai ke tingkat yang paling bawah. Biaya investasi pun, akhirnya menjadi lebih mahal, tecermin dari ICOR 7,6 yang lebih tinggi dari rata-rata negara Asean, di bawah 5. Semakin tinggi ICOR artinya ekonomi makin tidak efisien.

Selain itu, deindustrialisasi prematur terjadi dengan skala yang sangat cepat. Data terakhir menunjukkan porsi industri manufaktur terhadap PDB kembali ke 30 tahun yang lalu. Menurut Bhima, hal tersebut menunjukkan industri pengolahan jalan di tempat, makin tersalip oleh Vietnam. Padahal, sektor industri manufaktur adalah sektor terbesar penyerap tenaga kerja.

"Jadi, harus ada reformasi struktural untuk keluar dari jebakan kelas menengah. Waktu tidak banyak maka seluruh rangkaian kebijakan harus mengarah pada penguatan industri manufaktur, mencari motor ekonomi dari ekonomi hijau dan ekonomi biru, hingga pembenahan birokrasi bersih di tiap institusi pemerintahan," papar Bhima.

Sementara itu, Direktur Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan Indonesia sulit keluar dari middle income trap karena pertumbuhan ekonominya rata-rata hanya 5 persen. Padahal threshold negara maju (high income) juga bergerak maju sesuai perkembangan inflasi, pertumbuhan penduduk dan nilai tukar. "Jadi bisa nggak tumbuh minimal 6 persen secara konsisten? Itu syarat agar kita keluar," kata Tauhid.

Selain itu, sektor manufaktur di saat yang sama perlu tumbuh minimal 12 persen atau dua kali lipat dari pertumbuhan ekonomi secara umum karena hanya dengan pertumbuhan manufaktur yang tinggi, pengangguran bisa terserap. BPS mencatat tingkat penyerapan tenaga kerja di industri pengolahan menjadi ketiga tertinggi sebesar 14,17 persen dari total penduduk bekerja (153,50 juta orang) atau sekitar 19 juta orang.

"Kalau tumbuh 6 persen, tapi masih ditopang oleh konsumsi dan belanja negara ya susah untuk keluar dari middle income trap, karena pertumbuhannya semu," kata Tauhid.

Pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan syarat ekonomi tumbuh itu, kuncinya pada labor (tenaga kerja), capital (modal), dan teknologi.

"Selama ini, ketiga faktor itu saya lihat belum jadi prioritas pemerintah. Artinya, jika ingin memajukan perekonomian negara harus melakukan pembangunan sumber daya manusia, memupuk investasi atau mengumpulkan modal dan menciptakan teknologi dengan riset dan pengembangan," kata Esther.

Baca Juga: