Perlambatan ekspor jadi warning bahwa ke depan, baik harga dan permintaan produk komoditas Indonesia bisa saja terus menurun.

JAKARTA - Hilirisasi yang selalu digaungkan pemerintah dinilai masih sebatas pada produk-produk tertentu yaitu hasil tambang. Hilirisasi belum meluas ke komoditas di beberapa sektor, seperti perkebunan, pertanian, dan perikanan.

Hal itu menyebabkan ekspor Indonesia sangat mudah terkoreksi ketika negara-negara tujuan utama ekspor komoditas melakukan penyesuaian permintaan. Selain itu, enggannya pemerintah membantu para eksportir mencari negara tujuan ekspor baru di luar mitra tradisional menyebabkan permintaan komoditas asal Indonesia rawan terkoreksi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia pada September 2024 mencapai 22,08 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau turun 5,80 persen dibanding ekspor Agustus 2024.

Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, di Jakarta, Selasa (15/10), mengatakan penurunan ekspor pada September 2024 disebabkan oleh menurunnya ekspor nonmigas sebesar 5,96 persen dari 22,23 miliar dollar AS menjadi 20,91 miliar dollar AS.

"Demikian juga ekspor migas turun 2,81 persen, dari 1,20 miliar dollar AS menjadi 1,16 miliar dollar AS," jelas Amalia. Penurunan ekspor migas disebabkan oleh menurunnya ekspor hasil minyak 12,90 persen menjadi 312,6 juta dollar AS dan ekspor gas alam turun 8,87 persen menjadi 659,5 juta dollar AS, sedangkan ekspor minyak mentah naik 63,39 persen menjadi 197,8 juta dollar AS.

Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia periode Januari-September 2024 mencapai 192,85 miliar dollar AS atau naik 0,32 persen dibanding periode yang sama tahun 2023. Sementara ekspor kumulatif nonmigas mencapai 181,15 miliar dollar AS atau naik 0,39 persen. Dari sepuluh komoditas dengan nilai ekspor nonmigas terbesar pada September 2024, sebagian komoditas mengalami penurunan, yakni lemak dan minyak hewani/nabati sebesar 404,4 juta dollar AS, sedangkan yang mengalami peningkatan adalah besi dan baja sebesar 207,6 juta dollar AS.

Adapun negara tujuan ekspor terbesar pada September 2024, yakni Tiongkok 5,35 miliar dollar AS, Amerika Serikat 2,22 miliar dollar AS dan Jepang 1,55 miliar dollar AS, dengan kontribusi ketiganya mencapai 43,57 persen. Sementara ke Asean dan Uni Eropa (27 negara) masing-masing sebesar 3,91 miliar dollar AS dan 1,56 miliar dollar AS.

Penurunan Permintaan

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, mengatakan penurunan ekspor dipengaruhi oleh penurunan permintaan di negara mitra dagang tradisional, yakni AS, India, Jepang, dan Australia. Begitu India mengurangi permintaan sawit maka langsung tecermin dari anjloknya ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) hingga 16,9 persen dibanding bulan Agustus 2024.

"Perlambatan ekspor jadi warning bahwa ke depan, baik harga dan permintaan produk komoditas Indonesia bisa saja terus menurun," tegas Bhima. Indonesia, papar Bhima, perlu melakukan sejumlah cara untuk mengatasi masalah ini. Untuk produk sawit sepertinya perlu ada pembatasan produksi sehingga harga di pasar internasional bisa naik mengimbangi penurunan volume permintaan.

"Moratorium perluasan lahan sawit bisa mengirim sinyal ke importir bahwa pasokan akan dibatasi," kata Bhima. Selain itu, cara ini bisa naikkan daya tawar produk sawit karena ada aspek keberlanjutan lingkungannya. Strategi lain adalah memperkuat diplomasi produk bernilai tambah seperti besi baja, misalnya ke pasar Afrika Utara dan Eropa Timur yang butuh pembangunan infrastruktur dan perumahan.

Dihubungi pada kesempatan yang berbeda, pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y Sri Susilo, mengatakan penurunan kinerja ekspor dan impor Indonesia pada September 2024 dibanding Agustus 2024 mencerminkan dinamika ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian.

Salah satu faktor yang mempengaruhi situasi tersebut adalah kecenderungan deflasi yang mulai dirasakan secara global. Di AS dan Eropa, meskipun deflasi belum terjadi secara meluas, terdapat kekhawatiran terhadap perlambatan inflasi, terutama di sektor-sektor tertentu.

Di AS, inflasi menunjukkan tren melambat, namun Federal Reserve terus berupaya menjaga stabilitas ekonomi dengan kebijakan moneter yang ketat. Sedangkan di Eropa, meskipun masih ada tekanan inflasi akibat krisis energi, risiko deflasi tetap mengancam beberapa sektor ekonomi. "Fase wait and see ini juga dirasakan oleh pelaku ekonomi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia," jelas Susilo. Banyak pihak masih meraba- raba prospek ekonomi global ke depan, terutama dengan ketidakpastian kebijakan di sejumlah negara maju.

Baca Juga: