JAKARTA - Negara-negara Uni Eropa (UE) telah mencanangkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang paling agresif dengan target net zero emission pada tahun 2050. Salah satu langkah cepat yang dilakukan UE adalah menetapkan kebijakan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism, CBAM).

Pada tahap awal, CBAM akan berlaku untuk impor barang-barang tertentu dengan tingkat emisi karbon yang tinggi, seperti semen, besi dan baja, aluminium, pupuk, listrik, serta hidrogen.

Menyikapi hal tersebut, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menyatakan kebijakan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM) oleh Uni Eropa (UE) berdampak besar terhadap industri baja dalam negeri.

Oleh karena itu, lanjutnya di Jakarta, Senin (19/2), pemerintah harus memberi dukungan yang kuat kepada industri baja di Indonesia, termasuk melalui regulasi yang tepat.

"Ya, (kuncinya) memang dukungan pemerintah. Karena teknologi energi bersih kan mahal. Begitu pula dengan regulasi, pemerintah harus mempermudah," ujarnya melalui sambungan telepon.

Tauhid Ahmad mengatakan meski ekspor produk baja Indonesia ke UE relatif kecil dibandingkan dengan total ekspor nasional, namun industri baja nasional juga menghadapi tekanan serius. Sebab, tambahnya, jalur produksi berbasis batu bara yang digunakan sekarang memang signifikan meningkatkan emisi. Baja dalam negeri yang diekspor ke Tiongkok dan kemudian diolah untuk dijual ke UE misalnya, pasti meninggalkan jejak karbon.

"Ini tantangan sekaligus tekanan dari UE. Dan itu tidak hanya terjadi di baja dan sawit, tetapi hampir semua komoditas," katanya.

Oleh karena itu, dia menyatakan dukungan yang tepat dari pemerintah sangat diperlukan, termasuk kemudahan kebijakan yang memungkinkan transisi ke teknologi net zero emission, sehingga industri baja Indonesia mampu menghadapi tantangan global dengan menjaga daya saing dan profitabilitasnya.

"Betul, regulasinya harus mendukung. Pemerintah harus menyiapkan. Misal, ada industri yang berorientasi ke arah sana (aspek hijau sesuai kebijakan CBAM), pendekatan green finance bisa dilakukan. Itu harus ada insentif, selisih bunga yang signifikan," katanya.

Baca Juga: