Perancang busana Wignyo Rahadi meramu bahan tenun dari perajin di Sulawesi Tenggara menjadi busana muslim simpel elegan bertema Ethnic Radiance di Muslim Fashion Festival (MUFFEST) Indonesia 2020.

Pada MUFFEST tahun lalu, Wignyo hanya menggunakan kain tenun tradisional dari Desa Masalili, Muna, tapi tahun ini ia mengeksplorasi bahan sama dari dua lagi daerah sentra tenun Sultra, yakni Wakatobi dan Buton.

Seperti tahun lalu, Wignyo menyajikan koleksi 24 outfit terbarunya dengan dukungan Bank Indonesia Kantor Perwakilan Sultra yang juga sebagai pembina perajin tenun di tiga daerah itu.

Koleksi tersebut memperlihatkan keragaman elemen kultur--termasuk tenun tradisional--di Sultra yang terjalin menjadi kesatuan yang harmonis, menurut penyelenggara MUFFEST Indonesia 2020, di Jakarta, Kamis (27/2).

Ketiga jenis tenun tradisional asal Sultra yang diaplikasikan menjadi rangkaian busana muslim tersebut memiliki benang merah, yakni motif yang didominasi oleh garis dan geometris serta warna cenderung terang dilengkapi pilihan warna natural.

Tiga macam tenun itu diaplikasikan dalam ragam desain namun tetap menonjolkan karakter rancangan Wignyo yang identik dengan permainan tumpuk atau layer yang dinamis. Koleksi tenun Wakatobi yang terdiri dari 8 outfit dituangkan dalam varian longdress dengan permainan layer berpotongan simetris maupun asimetris.

Begitu pula koleksi tenun Masalili yang terdiri dari 8 outfit diaplikasikan dalam bermacam longdress sarat dengan perpaduan sentuhan feminin dan siluet tegas. Ornamen tumpuk tetap dihadirkan tanpa mengabaikan nuansa elegan. Lain halnya dengan koleksi tenun Buton yang menonjolkan motif garis repetitif dikreasikan dengan siluet yang ringan sehingga memberikan kesan tumbuh.

Koleksi yang terdiri dari 8 outfit itu mempertegas gaya dinamis dalam padu padan blus dan celana dengan permainan efek tumpuk dan lipat. Elemen lain yang menjadi karakter rancangan Wignyo adalah masing-masing tenun tersebut diselaraskan dengan tenun ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) produksi Tenun Gaya, brand yang dibuat oleh dirinya sendiri.

Tenun ATBM yang digunakan sebagai kombinasi antara lain corak full bintik, salur bintik, dan spunsilk sobi yang menjadi unggulan sehingga menciptakan tampilan akhir yang berbeda.

Wignyo Rahadi yang telah mendirikan usaha tenun dengan brand Tenun Gaya pada tahun 2000, konsisten mengembangkan desain dan teknik kerajinan tenun ATBM yang mengangkat inspirasi dari motif kain dan kerajinan tradisional dengan sentuhan modern agar dapat diterima oleh lintas generasi.

Komitmen Wignyo dalam membina para perajin tenun di berbagai daerah mendapat penghargaan dari pemerintah berupa UPAKARTI kategori Jasa Pengabdian pada bidang usaha pengembangan industri tenun tahun 2014.

Selain itu, dedikasinya dalam merevitalisasi kerajinan tenun pun telah menuai berbagai apresiasi dari tingkat nasional hingga internasional, di antaranya penghargaan Pemenang Lomba Selendang Indonesia 2019 dan 2018 oleh Adiwastra Nusantara Kategori Selendang Tenun Katun, Dekranas Award 2017 Karya Kriya Terbaik Kategori Tekstil, World Craft Council Award of Excellence for Handicrafts: South-East Asia Programme 2014, UNESCO Award of Excellence for Handicrafts: South-East Asia Programme 2012, dan lainnya.

Wignyo turut aktif di sejumlah asosiasi, antara lain sebagai Staf Ahli di Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) periode 2019-2024 dan sebagai National Vice Chairman Indonesian Fashion Chamber di bidang Institution Relations periode 2019-2024.

Masih Gunakan Bahan Alami

Buton merupakan salah satu penghasil tenun yang masih mempertahankan keaslian warna yang berasal dari bahan alami. Setiap warna memiliki bahan yang berbeda, seperti warna kuning menggunakan bahan akar nangka, kuning muda dari akar mangga, coklat dari kayu mahoni dan masih banyak lagi. Waktu pewarnaan juga membutuhkan proses yang panjang.

Mulai dari proses pencarian bahan di hutan, memasak bahan hingga mengeluarkan warna, mendinginkan bahan, memasukkan benang katun, merendam hingga 24 jam dan meniriskan di tempat teduh hingga betul-betul kering.

Setelah itu, benang dipintal, kemudian dikincir, lalu mengatur warna benang. Setelah melewati proses panjang yang menghabiskan waktu sekitar satu minggu. Barulah proses tenunan dimulai. Proses pengerjaannya juga bisa memakan waktu satu hinga dua minggu tergantung tingkat kesulitan. Belakangan untuk mengantisipasi hal tersebut, pengrajin asal Buton mulai menanam bahan-bahan pewarnaan benang agar tidak kesulitan lagi mencari di hutan.

Tenun Buton

Tenun Buton,ini adalah kerajinan tenun dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, biasanya menggambarkan objek alam yang mereka temukan di sekitarnya. Inilah yang menjadi kekhasan kerajinan tenun tersebut. pada awalnya kain tenun ini menjadi busana melambangkan status seorang wanita. Motifnya corak khas daerah seperti delima bongko dengan berbagai pilihan warna, ada merah, oranye, biru dan hijau.

Tenun Wakatobi

Selain Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi juga masih menggunakan pewarna alam dalam pembuatan kain tenun. Cara pembuatan nya pun relatif tidak jauh berbeda. Keindahan kain tenun Wakatobi berasal dari para pengrajin yang masih memproduksi secara tradisional hingga hari ini. Kebanyakan pengrajin kain tenun merupakan kelompok etnis Buton.

Dulu, benang pada kain tenun terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang. Lalu, benang-benang ini diwarnai dengan pewarna alami. Ciri khas tenun Wakatobi adalah pola garis-garis dengan berbagai warna. Motif garis-garis ini biasanya digunakan untuk para wanita. Sementara untuk para pria, motif tenunnya kotak-kotak.

Salah satu desa tertua pembuat tenun Wakatobi berada di Pajam. Desa Pajam menjadi pusat kerajinan tenun atau Weaving Handicraft Center yang kemudian menjadi kawasan Ecotourism kebanggaan Wakatobi.

Perempuan dari Desa Pajam diajarkan menenun agar dapat mewariskan tradisi ini. Mereka diajarkan tiga tahapan tenun. Pertama adalah Purunga atau proses menggulung benang.

Kedua Oluri, yaitu proses menggulung benang di atas papan. Lalu terakhir adalah proses menenun benang hingga menjadi satu lembar kain atau sarung. Proses ini memakan waktu kurang lebih satu minggu untuk satu kain.

Selain Desa Pajam, ada juga Desa Liya Togo yang melakukan upaya pelestarian kain tenun. Setiap masyarakat dan tamu yang datang ke sini wajib mengenakan tenun khas Wakatobi.

Kaum pria wajib mengenakan sarung tenun. Sementara perempuannya mengikatkan kain tenun pada satu pundaknya, di sisi kiri untuk perempuan yang belum menikah dan di sisi kanan untuk yang sudah menikah.

Saat ini, kain tenun Wakatobi sedikit dimodifikasi dengan menggunakan warna metalik (emas, perak, hijau, merah, biru dan lainnya) agar hasil kain lebih mengkilap saat terkena cahaya.

Seiring dengan beragamnya minat pembeli, para penenun juga bekerja sama dengan perancang untuk membentuk motif baru sehingga hasilnya lebih variatif.

Kain tenun biasanya digunakan oleh masyarakat pada acara-acara adat. Ada juga yang dijual sebagai cenderamata untuk para wisatawan yang datang dengan harga mulai dari 300 ribu hingga jutaan rupiah.

Tenun Muna

Kegiatan menenun kain telah lama dikenal di Muna dan diwariskan secara turun temurun. Para orang tua biasanya mewariskan keterampilan bertenun khususnya kepada anak wanitanya.

Kebiasaan bertenun pada masyarakat Muna masih bisa dilihat di beberapa desa saja termasuk yang masih kuat di Desa Masalili, Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna.

Sarung tenun Muna dulunya merupakan sarung adat yang banyak dipakai oleh masyarakat Muna. Ratusan tahun kebudayaan tenun ini mengakar di masyarakat Muna karena keberadaannya menunjukkan stratifikasi sosial yang ada di masyarakat. Jenis pemakaian sarung menunjukkan identitas sosial masyarakat.

Sarung Muna yang dikenal juga dengan sebutan Kamooru ini sudah dikenal sejak masa pemerintahan Raja Muna pertama, La Eli alias Baidhuldhamani yang bergelar Bheteno Ne Tombula. Bahkan menurut beberapa sumber, Kamooru ini sudah ada sejak tahun 1371.

Informasi yang memerlukan penelitian lebih lanjut ini, menunjukkan betapa tingginya peradaban masyarakat Muna zaman itu yang sudah mengenal teknologi tenun. Keterampilan bertenun hampir bisa dilakukan oleh semua orang Muna. Bertenun, rata-rata biasa dikerjakan oleh orang berusia lanjut.

Tetapi saat ini, meski sudah mulai semarak seperti dulu, tapi anak-anak muda sudah mulai tertarik untuk belajar menenun. Sarung tenun Muna dikenal memiliki jalur corak dan warna dasar yang khas, unik dan berbeda-beda.

Dalam pembuatan sarung atau baju tenun khas Muna ini, dibutuhkan benang ekstra yang panjang. Untuk ukuran baju dengan ukuran lebar kurang lebih 70 sentimeter, dibutuhkan benang ekstra sepanjang 4 meter.

Jika untuk sarung tenun, tentu dibutuhkan benang yang lebih panjang. Alat tenun yang digunakan masih tradisional. Untuk membuat baju atau sarung, bahan dan peralatan yang dibutuhkan pada dasarnya sama saja karena semua harus dimulai dari pembuatan kain dasar. Perbedaannya biasanya pada ukuran dan motif. ant/berbagaisumber/ars

Baca Juga: