YANGON - Tentara Myanmar menyandera sekelompok warga sipil, termasuk sedikitnya 80 anak-anak selama dua hari selama bentrokan dengan pemberontak sebelum akhirnya membebaskan sebagian besar dari mereka pada Senin (28/2). Informasi ini disampaikan berdasarkan laporan media, pernyataan kelompok pemberontak dan pemerintah bayangan.

Insiden bentrokan itu terjadi di wilayah Sagaing di Myanmar, yang telah menjadi tempat pertempuran sengit antara militer dan kelompok-kelompok milisi yang menentang kudeta.

Akibat serangan udara dan serbuan militer pada akhir pekan di Yinmabin, sebuah kotapraja sekitar 120 kilometer barat Mandalay, telah mengusir sebagian besar warga desa, tetapi puluhan anak dan beberapa guru tertinggal di sebuah biara yang juga terdapat sekolah, menurut laporan media.

Surat kabar Irrawaddy yang mengutip keterangan penduduk lokal mengatakan bahwa pada Minggu (27/2) sebanyak 85 anak dan 10 guru disandera.

Sementara Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintahan bayangan yang dibentuk oleh penentang kudeta tahun lalu, mengatakan beberapa anak yang ditahan berusia di bawah 12 tahun dan beberapa di bawah lima tahun, menuduh tentara junta telah melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional.

Seorang anggota Pasukan Pertahanan Rakyat daerah itu mengatakan sebagian besar telah dibebaskan pada Senin pagi ketika pasukan ditarik, tetapi beberapa orang dewasa masih ditangkap.

"Kami tidak bisa melawan pasukan karena mereka menahan anak-anak," kata anggota milisi itu.

Tameng Manusia

Di masa lalu, militer telah dituduh menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia dan mengambil alih sekolah dan biara untuk digunakan sebagai pangkalan.

Phil Robertson, wakil direktur Asia Human Rights Watch, mengatakan peristiwa semacam itu menunjukkan militer beroperasi tanpa kenal takut.

Menurut kelompok aktivis yang berbasis di Thailand, lebih dari 1.500 orang tewas dalam tindakan keras oleh pasukan keamanan Myanmar sejak kudeta Februari lalu yang menggulingkan pemerintah yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi.

Militer yang berkuasa di Myanmar, membantah jumlah korban dari kelompok aktivis itu dan mengatakan bahwa liputan media asing terkait situasi di negara tersebut sangat bias dan terpengaruh oleh informasi yang menyimpang untuk menciptakan ketidakstabilan. ST/I-1

Baca Juga: