JAKARTA - Nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan hingga ditutup melemah 240 poin atau 1,61 persen menjadi 15.173 rupiah per dollar AS pada perdagangan antarbank di Jakarta, Selasa (17/3). Kurs rupiah itu merupakan terlemah sejak Oktober 2018 yang ketika itu di level 15.217 rupiah per dollar AS.

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan pelemahan rupiah disebabkan ungkapan Presiden Donald Trump yang mengatakan AS dimungkinkan masuk ke fase resesi akibat wabah virus korona jenis baru atau Covid-19 dan kebijakan bank sentral AS, The Fed yang memangkas bunga acuan menjadi nol persen. "Diturunkannya bunga The Fed menambah pasar panik, karena sebelumnya sudah menurunkan bunga secara signifikan di saat kondisi ekonomi genting. Hal ini juga pernah terjadi pada saat krisis 2008-2009," ujar Bhima saat dihubungi, Selasa (17/3).

Bhima menambahkan, sikap pemerintah yang ingin memberlakukan lockdown (penutupan akses) akibat virus korona juga berdampak terhadap perekonomian dan menutup catatan neraca perdagangan yang mengalami surplus pada Februari 2020. "Surplus perdagangan semu. Karena impor bahan baku per Februari turun cukup tajam dibandingkan bulan januari. Biasanya 3-5 bulan setelah impor bahan baku turun, produksi manufaktur ikut turun," jelasnya.

Selain itu, investor asing secara persisten melakukan aksi jual di bursa saham dalam negeri yang membuat tidak stabilnya pergerakan saham di pasar lokal. "Dalam sepekan terakhir net sell di bursa menembus 780 miliar rupiah," kata Bhima

Dihubungi terpisah, peneliti Centre of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan amblesnya rupiah dikarenakan adanya capital outflow (aliran uang keluar) di pasar keuangan.

"Hal ini terlihat dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang turun hingga lima persen dan juga investor asing yang menjual hingga 1 triliun sampai dengan penutupan sore," ujarnya.

Menurutnya keputusan The Fed menurunkan suku bunga acuan hingga 0 persen ternyata tidak membuat investor untuk tetap berada di negara emerging market, seperti Indonesia dan lebih memilih hengkang. "Mereka lebih memilih menyimpan dananya di negara safe heaven seperti Amerika Serikat dalam bentuk dollar," tegasnya.

Belum Optimal

Sedangkan Kepala Riset dan Analisis Monex Investindo Futures, Ariston Tjendra, mengatakan sikap pemerintah dan Bank Indonesia (BI) yang telah melakukan kucuran dana untuk menjaga investor tampaknya belum optimal.

"Stimulus tidak mempan. Pasar masih diterpa kekhawatiran penyebaran wabah virus korona, apalagi status pandemi masih belum diturunkan oleh WHO. Penyebaran masih berlangsung, masih terjadi lockdown di beberapa negara, sehingga investor mencari tempat yang aman," ujar Ariston.

Direktur PT TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengatakan tekanan akibat pandemi Covid-19 akan berlangsung hingga ke kuartal kedua dan diprediksi masa puncak penyebaran virus korona di bulan Mei 2020. "Selama belum ada obatnya, rupiah masih akan tertekan," katanya.

Ibrahim memperkirakan rupiah akan terus merosot akibat belum berhentinya serangan korona. Rupiah akan bergerak pada kisaran 15.140-15.350 rupiah per dollar AS di perdagangan hari ini, Rabu (18/3). uyo/AR-2

Baca Juga: