» Kerugian ekonomi global akibat cuaca ekstrem mencapai 5,1 triliun dollar AS dalam 20 tahun terakhir.

» Akses keuangan global semakin terbatas karena adanya pajak karbon atas pembelian surat berharga.

JAKARTA - Tuntutan ekonomi hijau dan pembiayaan berkelanjutan dari global memberi peluang bagi perekonomian Indonesia untuk tumbuh lebih tinggi dan berkualitas. Sebab, Indonesia memiliki ruang yang lebih besar untuk mengembangkan potensi ekonomi hijau tersebut.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Destry Damayanti, dalam sebuah diskusi daring di sebuah media ekonomi di Jakarta, Rabu (8/12), mengatakan ruang untuk tumbuh itu bersumber dari kekayaan potensi alam Indonesia yang sangat besar dan beragam. Hal itu juga yang memungkinkan Indonesia dapat mencapai nol emisi karbon lebih cepat.

Apalagi, kata Destry, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyampaikan bahwa Indonesia memiliki sumber energi terbarukan yang sangat besar dan diperkirakan mencapai 418 ribu megawatt (MW) yang bersumber dari pembangkit listrik tenaga biotermal, hydro, bayu, dan tenaga matahari.

"Potensi ini tentunya harus dapat kita manfaatkan dan kita kelola dengan baik serta dengan konsistensi dan keberanian untuk melakukan berbagai terobosan agar bisa menjadi kekuatan ekonomi kita ke depan," katanya.

Transisi menuju ekonomi rendah karbon, jelas Destry, akan mengundang investasi global ke Indonesia yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan cadangan devisa. Berdasarkan penghitungan menggunakan CAGR, kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) diproyeksikan bisa mencapai 0,62 persen per tahun dan tambahan kenaikan cadangan devisa diproyeksikan mencapai 51,9 miliar dollar AS.

Perlunya mempercepat transisi energi tersebut karena di sisi lain, perubahan iklim akibat pemanasan global telah mengancam ekonomi global. Dampak perubahan iklim diperkirakan jauh lebih besar daripada krisis keuangan global 2008 dan Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim karena terletak pada kawasan ring of fire atau cincin api.

Berdasarkan data AON-Catastrophe Insight 2020, kerugian ekonomi global akibat cuaca ekstrem mencapai 5,1 triliun dollar AS dalam 20 tahun terakhir. Sedangkan kerugian ekonomi Indonesia akibat cuaca ekstrem, berdasarkan data Bappenas 2001 mencapai 100 triliun rupiah per tahun.

"Biaya ini diperkirakan akan terus tumbuh secara eksponensial akibat semakin ekstremnya cuaca di masa depan. Apabila kita tidak melakukan tambahan aksi mitigasi maka biaya akibat cuaca ekstrem pada 2050 diperkirakan mencapai 40 persen dari PDB," kata Destry.

Seiring dengan kuatnya tuntutan global akan ekonomi hijau, Indonesia akan terekspos risiko transisi global yang besar jika terlambat melakukan aksi mitigasi, seperti hambatan ekspor atas produk unggulan yang diperkirakan akan semakin besar akibat tambahan pajak karbon serta akses keuangan global yang semakin terbatas karena adanya pajak karbon atas pembelian surat berharga kepada entitas yang tinggi karbon.

Bank Indonesia (BI) sendiri, paparnya, telah secara aktif sejak 2010 melakukan inisiatif keuangan hijau yang pada 2020 telah dibentuk draf kerangka keuangan hijau BI, riset tentang kebijakan makroprudensial hijau, serta penguatan PBI tentang green LTV yang akan digunakan menuju sistem keuangan hijau.

Tambahan Aksi

Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Imron Mawardi, mengatakan pemerintah perlu melakukan tambahan aksi mitigasi karena cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, namun juga korban jiwa.

"Peningkatan dukungan (dana) untuk mitigasi cuaca ekstrem sangat perlu karena kerugian akibat bencana iklim bukan hanya, materi tapi sudah menyentuh jiwa," kata Imron.

Semakin pemerintah menunda upaya mitigasi, maka biaya yang harus ditanggung akibat bencana iklim di masa datang akan semakin mahal. Karena secara geografis, risiko bencana iklim pada negara kepulauan seperti Indonesia semakin besar, plus anomali cuaca yang dapat mengancam ketahanan pangan.

"Lebih-lebih, banyak kota besar Indonesia di pesisir yang ketinggiannya sudah di bawah permukaan laut. Dikhawatirkan bila upaya mitigasi tidak ditingkatkan sekarang, biaya yang akan ditanggung pada masa depan akan jauh lebih mahal. Selain itu, anomali iklim menimbulkan ketidakpastian waktu dan hasil panen, ini mengancam ketahanan pangan," tambahnya.

Baca Juga: