JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berpotensi melemah lanjutan jelang akhir pekan ini seiring meningkatnya ketegangan perang Israel dan Palestina. Meski demikian, pelaku pasar diperkirakan menunggu rilis data inflasi Personal Consumption Expenditures (PCE) Amerika Serikat (AS) pada September 2023, Jumat (27/10) waktu setempat.

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memproyeksilan kurs rupiah terhadap dollar AS dalam perdagangan di pasar uang antarbank, Jumat (27/10), berfluktuasi namun ditutup melemah di kisaran 15.910-15.970 rupiah per dollar AS.

Sebelumnya, nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank pada penutupan perdagangan, Kamis (26/10), melemah sebesar 50 poin atau 0,31 persen dari sehari sebelumnya menjadi 15.920 rupiah per dollar AS.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyatakan pelemahan rupiah dipengaruhi data ekonomi AS yang lebih kuat.

"Ini menegaskan kemungkinan The Fed untuk mempertahankan suku bunga acuan lebih lama dan mendorong permintaan dollar AS yang lebih kuat," ujar dia di Jakarta, kemarin.

Data AS tersebut ialah Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS sebesar 50,0 dengan ekspektasi 49,5.

Selain itu, pasar memperkirakan data Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal II-2023 yang akan dirilis malam ini tumbuh 4,3 persen.

Pada Jumat (27/10), investor tertuju data inflasi PCE Price Index AS yang diprediksi meningkat 0,3 persen month to month (MoM) dan 3,7 persen year on year (YoY).

Menurut Analis Pasar Mata Uang Lukman Leong, rupiah melemah pasca imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik tipis, melanjutkan pergerakan menuju level tertinggi dalam 16 tahun sebesar 5 persen yang sempat ditembus pada awal pekan.

"Pidato Powell (Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell) semalam juga cenderung sedikit lebih hawkish. Tidak ada data ekonomi dari China hari ini, ekonomi China yang masih di bawah harapan akan terus menekan mata uang regional dan Asia, termasuk rupiah," ungkap Lukman.

Baca Juga: