Pengembangan pembangkit EBT merupakan wacana lama sekali, tetapi pemerintah tak kunjung keluar dari kebergantungan pembangkit tenaga uap batu bara.

JAKARTA - Pemerintah akan mengandalkan pemanfaatan energi surya setelah 2035, kemudian diikuti tenaga angin dan arus laut serta hidrogen. Pemanfaatan sumber energi ramah lingkungan tersebut dilakukan secara bertahap sejak 2031 dan baru secara masif pada 2051. Semua tahapan tersebut tertuang dalam peta jalan menuju net zero emission (NZE) pada 2060.

Pemerhati masalah energi dan ekonomi menilai agar semua rencana tersebut berjalan, pemerintah harus bisa keluar dari pengaruh kuat pengusaha batu bara. Sejumlah target terkait pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) selama ini banyak meleset. Faktanya hingga kini porsi EBT dalam bauran energi baru 11,7 persen atau masih jauh dari target 23 persen pada 2025.

Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, menegaskan pengembangan pembangkit EBT ini wacana lama sekali, tetapi pemerintah tak kunjung keluar dari kebergantungan pembangkit tenaga uap batu bara. Proyek 35 gigawatt (GW) masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Bahkan, beberapa proyek sampai beberapa tahun ke depan masih memakai bahan bakar fosil.

"Jadi, keinginan pindah ke pembangkit EBT masih jauh dari implementasi. Masalahnya, komitmen politik pemerintah saja lalu diikuti dengan eksekusi di lapangan di tingkat level teknis," tegasnya di Jakarta, Rabu (16/2).

Lebih lanjut, Huda menegaskan pemerintah susah keluar dari tekanan pemilik usaha batu bara. Terlebih lagi ada pejabat yang juga menjadi pengusaha batu bara.

"Kalau EBT ini benar benar berjalan optimal, pemerintah harus keluar dari jeratan pengusaha batu bara. Caranya percepat pensiun dini PLTU PLTU," tukas Huda.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, bertemu dengan World Bank Managing Director for Operations Axel van Trotsenburg dan Vice President for East Asia and the Pacific Manuela Ferro untuk membahas upaya transisi energi di Indonesia yang juga merupakan isu utama pada gelaran Presidensi G20 Indonesia.

Arifin menyampaikan pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencapai 23 persen EBT dalam bauran energi pada 2025, sementara pada akhir 2021, angkanya baru 11,7 persen. Untuk itu, lanjutnya, pemerintah menargetkan tambahan 3,6 GW Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang terpasang pada 2025.

Upaya lainnya, lanjut Menteri ESDM, pembangunan 10,6 GW pembangkit listrik tenaga (PLT) EBT, termasuk penggantian PLTD menjadi PLT EBT, dan pemanfaatan biofuel hingga 11,6 juta kiloliter.

Arifin juga menunjukkan bahwa pemerintah telah memiliki peta jalan menuju NZE pada 2060. Pada peta jalan tersebut, tambahan pembangkit listrik setelah 2030 hanya dari PLT EBT. Mulai 2035, pembangkit listrik akan didominasi oleh Variable Renewable Energy (VRE) dalam bentuk tenaga surya, diikuti tenaga angin dan arus laut pada tahun berikutnya.

Ancaman Mangkrak

Direktur Eksekutif Energi Watch, Mamit Setiawan, meminta pemerintah memperketat pengawasan pembangunan PLTS. Langkah pemerintah yang mendorong teknologi smart grid dan super grid untuk peningkatan dan pengembangan EBT merupakan langkah yang tepat.

Menurutnya, EBT ke depan harus bisa berbasis IT sehingga lebih mudah baik dari sisi operasional maupun pengawasannya. Dia beralasan cukup banyak PLTS skala kecil di daerah berhenti beroperasi karena jauh dari pengawasan. Selain itu, pemeliharaannya tak diperhatikan.

"Makanya saya bilang teknologi bagus, hanya saja harus didukung oleh semua pihak termasuk masyarakat. Jangan sampai nanti banyak yang mangkrak," pungkas Mamit.

Baca Juga: