JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berpotensi melanjutkan pelemahannya hari terakhir pekan ini sebelum libur panjang Lebaran. Sentimen eksternal, terutama dari Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, diperkirakan masih mendominasi.

Analis Monex Investindo Futures Faisyal memproyeksikan rupiah masih akan melemah karena ekspektasi kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS atau The Fed pada awal Mei mendatang. Pelaku pasar juga khawatir dengan potensi pelambatan ekonomi Tiongkok akibat pengetatan aktivitas masyarakat atau lockdown. Selain itu, tensi geopolitik antara Russia dan Ukraina berpotensi mempengaruhi pergerakan rupiah.

Di tengah sentimen negatif tersebut, Faisyal memproyeksikan nilai tukar rupiah rupiah terhadap dollar AS dalam perdagangan di pasar uang antarbank, Kamis (28/4), bergerak di kisaran 14.370-14.465 rupiah per dollar dengan kecenderungan melemah terbatas.

Sebelumnya, kurs rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Rabu (27/4) sore, melemah tipis, dibayangi ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Fed yang lebih agresif. Rupiah ditutup melemah dua poin atau 0,02 persen dari sehari sebelumnya menjadi 14.413 rupiah per dollar AS.

"Dollar AS masih bergerak solid akhir-akhir ini yang dipicu oleh ekspektasi kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve," kata Analis Monex Investindo Futures Faisyal dalam kajiannya di Jakarta.

Bank sentral mengisyaratkan kenaikan sebesar 50 bps ketika mereka akan bertemu pada pekan depan dan mungkin akan melakukan kebijakan yang sama pada Juni dan Juli.

Sementara itu, kekhawatiran pasar terhadap penyebaran virus Covid-19 di Tiongkok makin memburuk. Penyebaran yang dimulai di Shanghai mendorong pemerintah melakukan lockdown dan isolasi. Namun kini penularan telah meluas ke beberapa distrik di Beijing dan juga Mongolia.

Sementara itu di tempat lain, pelaku pasar masih memperhatikan perkembangan perang antara Ukraina dan Russia. Dalam berita terbaru menunjukkan bahwa perusahaan Polandia PGNIG mengatakan Russia akan menghentikan pengiriman gas mulai 27 April dan mereka harus dibayar dengan rubel. Selain itu, Gazprom juga telah menghentikan pengiriman gas ke Bulgaria.

Baca Juga: