» Porsi utang jangka pendek cenderung meningkat dari 11 menjadi 13 persen.

» ULN bisa meningkat kembali kalau pemerintah menerbitkan SBN.

JAKARTA - Pernyataan Bank Indonesia (BI) yang melaporkan Utang Luar Negeri (ULN) kembali menurun berpotensi menyesatkan publik. Sebab, klaim tersebut bisa dinilai ada perbaikan signifikan dalam pengelolaan utang, padahal yang terjadi hanya karena pengaruh waktu pencatatan saja.

Bank sentral, pada Senin (17/10), melaporkan posisi ULN pada Agustus 2022 kembali menurun menjadi 397,4 miliar dollar AS dibandingkan bulan sebelumnya 400,2 miliar dollar AS.

Direktur Departemen Komunikasi BI, Junanto Herdiawan, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, mengatakan perkembangan tersebut disebabkan oleh penurunan ULN sektor publik yaitu pemerintah dan bank sentral, maupun sektor swasta.

Secara tahunan, posisi ULN Agustus 2022 mengalami kontraksi sebesar 6,5 persen (year-on-year/yoy), lebih dalam dibandingkan bulan sebelumnya 4,1 persen.

Adapun posisi ULN pemerintah pada Agustus 2022 sebesar 184,9 miliar dollar AS, lebih rendah dari posisi bulan sebelumnya 185,6 miliar dollar AS. Secara tahunan, ULN pemerintah terkontraksi 10,9 persen (yoy), lebih dalam dibandingkan Juli 2022 sebesar 9,9 persen.

"Penurunan ULN pemerintah terjadi akibat adanya penurunan pinjaman seiring dengan pelunasan pinjaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan penarikan pinjaman dalam mendukung pembiayaan program dan proyek prioritas," kata Junanto.

Sementara itu, instrumen Surat Berharga Negara (SBN) secara neto naik seiring peningkatan arus modal masuk pada SBN domestik, yang mencerminkan kepercayaan investor asing di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.

Sementara itu, ULN swasta trennya penurunan dan pada Agustus 2022 tercatat sebesar 204,1 miliar dollar AS, menurun dibandingkan bulan sebelumnya 206,1 miliar dollar AS.

Struktur ULN Indonesia secara keseluruhan tetap sehat yang tecermin dari rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tetap terjaga di kisaran 30,4 persen.

Disikapi Hati-hati

Pengamat Ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan perkembangan data ULN yang menurun perlu disikapi secara hati-hati.

Dalam beberapa bulan terakhir, sejak Oktober tahun lalu, memang ULN cenderung menurun, namun laju penurunan tersebut sebetulnya relatif kecil, rata-rata kurang dari 1 persen per bulan.

"Sebenarnya belum terlalu tepat untuk mengatakan ada komitmen serius menurunkan ULN," kata Aloysius.

Selain itu, penurunan yang lambat boleh jadi karena situasi ekonomi yang memang masih bergerak tidak stabil. Sementara proyeksi yang ada justru memberikan sinyal negatif bahwa pertumbuhan ekonomi akan melambat. Maka, tren penurunan ULN tersebut masih mungkin untuk menjadi labil.

Begitu juga dengan komposisi ULN pemerintah dan swasta yang tidak banyak berubah, cenderung seimbang. Hal itu berarti magnitudo beban ULN pemerintah sebetulnya juga tidak banyak berkurang.

"ULN pemerintah secara teoretis harusnya porsinya mengecil di masa normal, maka kebekuan komposisi ULN ini sekaligus memberikan indikasi kalau krisis belum terobati," katanya.

Lebih lanjut, dia mengatakan dengan komposisi sekitar 65 persen dalam denominasi dollar AS, ada kecenderungan ULN akan meningkat karena ketidakstabilan nilai tukar terhadap mata uang global. Hal itu membawa risiko yang tidak kecil dari sisi beban pelunasan karena dominannya pergerakan dollar AS. Apalagi porsi utang jangka pendek cenderung meningkat belakangan ini, dari 11 menjadi 13 persen.

Pada kesempatan lain, Peneliti Ekonomi Core, Yusuf Rendi Manilet, mengatakan turun-naiknya ULN juga dipengaruhi oleh tanggal ataupun rilis pemerintah dalam menarik utang baru. Meskipun saat ini menurun, di kemudian hari bisa saja meningkat kalau pemerintah mulai memutuskan untuk menerbitkan kembali surat utang global.

Sedangkan utang swasta juga cenderung turun karena dengan kondisi yang tidak menentu, bisa jadi mereka tidak membutuhkan pembiayaan untuk ekspansi. Terkait utang swasta juga perlu diperhatikan karena kurs yang volatile, terutama perusahaan yang tidak melakukan lindung nilai.

Baca Juga: