Selain pangan, kenaikan permintaan diperkirakan terjadi pada kelompok pengeluaran untuk pakaian dan mobilitas masyarakat menjelang Ramadan dan Idul Fitri.

JAKARTA - Pemerintah perlu mewaspadai potensi kenaikan harga sejumlah bahan pokok beberapa pekan ke depan, mengingat sebentar lagi memasuki periode Ramadan. Gejala inflasi sudah mulai muncul sejak Februari. Jika tak ada langkah strategis, inflasi dikhawatirkan kian tak terkendali.

Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, menuturkan dalam beberapa bulan mendatang, tekanan inflasi akan disebabkan peningkatan pengeluaran akibat adanya beberapa libur panjang pada Februari 2024 dan lonjakan harga pangan menjelang musim Ramadan akibat kenaikan permintaan masyarakat.

"Selain pangan, kenaikan permintaan diperkirakan akan terjadi pada kelompok pengeluaran untuk pakaian dan mobilitas masyarakat menjelang Ramadan dan Idul Fitri," terang Riefky kepada Koran Jakarta, Kamis (22/2).

Gejala kenaikan harga pangan bahkan sudah dimulai sejak Januari 2024. Komponen harga bergejolak menunjukkan kenaikan inflasi sebesar 7,22 persen secara tahunan (yoy) pada Januari 2024 dibandingkan 6,73 persen (yoy) pada Desember 2023.

Komponen itu menjadi kontributor utama inflasi bulan ini sebesar 1,14 poin persentase terhadap inflasi umum. Selain beras, kenaikan harga bawang putih dan tomat turut mendorong peningkatan inflasi komponen harga fluktuatif.

Karena itu, Riefky menegaskan Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) akan lebih krusial mengendalikan inflasi, terutama tekanan dari komoditas pangan. Pasalnya, komoditas pangan saat ini memiliki porsi yang lebih besar dari total konsumsi di survei biaya hidup (SBH).

Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak, mengingatkan pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag), agar bahan pokok seperti beras dan minyak goreng harganya harus terjangkau oleh masyarakat. Selain harga, ketersediaan pangan juga harus tercukupi.

Hal itu, menurutnya, dapat dibenahi melalui tata kelola niaga oleh pemerintah dalam menjalankan tugas dengan baik. "Misalnya, untuk minyak goreng produksi melimpah, namun jika ada penimbunan oleh pihak-pihak tertentu, mohon maaf (misalnya) dari pemerintah ada yang terlibat seperti kasus-kasus lalu, maka masyarakat yang jadi korban. Dengan demikian, agar tidak terjadi persoalan kunci utama, pemerintah bisa menjalankan sebagaimana tugas dan fungsinya," jelas Amin.

Menurutnya, persoalan stok minyak goreng sempat melambung, tapi terkadang juga terjadi kelangkaan hingga tidak pernah ada penyelesaian. Sehingga, pada tahun ini persoalan tersebut ia berharap jangan terulang kembali. "Jika (Kementan) selalu berbicara stok beras selalu cukup melebihi kebutuhan konsumsi nasional. Namun (Kemendag) bicara data, mengatakan tidak cukup sehingga pilihan selalu impor," tegasnya.

Beras Langka

Dia juga menyoroti persoalan yang sedang ramai belakangan ini terkait kelangkaan beras premium di sejumlah toko ritel modern. Bahkan menurutnya, pedagang pasar ikut menjerit lantaran harga beras terus meroket.

Dia menilai kelangkaan beras yang menjadi bahan pokok seharusnya tidak harus terjadi karena sering terjadi silang sengketa antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.

"Jika (Kementan) selalu berbicara stok beras, selalu cukup melebihi kebutuhan konsumsi nasional. Namun (Kemendag) bicara data, mengatakan tidak cukup sehingga pilihan selalu impor," jelasnya.

Baca Juga: