Tekanan inflasi tahun ini berasal dari sejumlah faktor, di antaranya lonjakan harga barang komoditas; penghapusan BBM premium dan pertalite; serta penyesuaian harga gas konsumsi rumah tangga.

JAKARTA - Pemerintah perlu segera meredam kenaikan harga barang bergejolak yang dapat memicu lonjakan inflasi. Bahkan, pemerintah hanya mempunyai waktu tiga bulan untuk menstabilkan harga menjelang Ramadan.

Apabila harga harga barang bergejolak ini tak kunjung terkendali, lonjakan harga jelang Idul Fitri yang jatuh 2 Mei tak bisa terhindarkan. Parahnya, kenaikan tersebut makin tak wajar.

Sebagai catatan, inflasi pada Desember 2021 tercatat sebesar 0,57 persen secara bulanan (mtm) dan 1,87 persen secara tahunan (yoy). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Desember tertinggi sepanjang 2021 dan dalam dua tahun terakhir.

Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan inflasi pada akhir tahun lalu lebih didorong oleh cost push inflation ketimbang kenaikan permintaan. Dia mencontohkan lonjakan harga pangan seperti minyak goreng itu karena harga crude palm oil (CPO) bergerak liar di pasar internasional, kemudian diteruskan ke konsumen domestik.

Begitu juga soal kenaikan harga cabai, lanjutnya, dipicu faktor cuaca sehingga membuat produksi terganggu. Menurutnya, kebijakan pemerintah turut berdampak ke inflasi, termasuk melalui kenaikan harga gas LPG. "Belum bisa dikatakan inflasi yang terjadi di Desember adalah inflasi yang sehat," tegas Bhima.

Dia menerangkan, pada 2022, kondisi inflasi dari sisi penawaran, tekanannya akan lebih tinggi lagi. Prediksi paling moderat, inflasi akan bergerak di rentang 4,5-5 persen secara yoy pada 2022.

"Inflasi yang perlu diwaspadai terjadi pada bahan makanan maupun harga energi. Pada bahan makanan baik minyak goreng, telur, bawang putih, kedelai maupun cabai berisiko meningkat harganya," ucapnya.

Dia memperingatkan wacana penghapusan premium dan pertalite mendorong masyarakat mengonsumsi bahan bakar minyak (BBM) dengan harga lebih tinggi. Selain itu, harga gas LPG 12 kilogram (kg) juga telah dinaikkan.

Inflasi juga dipicu oleh kebijakan pajak, terutama penyesuaian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen maupun kenaikan cukai rokok pada 2022.

Kenaikan Wajar

Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, menyatakan daya beli masyarakat naik memang tecermin dari perkembangan inflasi. Kondisi tersebut menunjukkan perekonomian pada Desember membaik. Namun menurutnya, kenaikan permintaan barang konsumsi wajar terjadi meningkat karena bertepatan dengan pembagian bonus akhir tahun.

Selain itu, Nailul menilai pemerintah perlu menekan laju inflasi barang bergejolak yang dapat menggerus daya beli masyarakat. Dia menambahkan harga minyak goreng, telur ayam, hingga cabai yang kompak meningkat di saat bersamaan mengikis daya beli masyarakat.

"Jadi, seharusnya pemerintah dapat menahan inflasi barang bergejolak, namun di satu sisi mengerek inflasi inti dengan perbaikan ekonomi," tegas Huda.

Menindaklanjuti arahan Presiden RI Joko Widodo, Kementerian Perdagangan berkomitmen memastikan stok minyak goreng tetap tersedia secara nasional dengan harga terjangkau. Penyaluran minyak goreng kemasan sederhana dengan harga 14.000 rupiah per liter yang selama masa Natal 2021 dan Tahun Baru 2022, telah dilakukan melalui ritel modern, akan diperluas melalui pasar tradisional dan tetap melaksanakan operasi pasar.

"Kami memastikan stok minyak goreng tetap tersedia dengan harga terjangkau sehingga masyarakat dapat memperoleh minyak goreng di semua pasar, baik ritel modern maupun di pasar tradisional," tegas Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi.

Baca Juga: