JAKARTA - Bank Indonesia (BI) diminta memperkuat koordinasi dengan pemerintah agar nilai tukar (kurs) rupiah tidak semakin terpuruk. Salah satu wujud koordinasi adalah meminta pemerintah untuk menekan impor semaksimal mungkin dan lebih menggairahkan gerakan cinta produk dalam negeri.

Pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, yang diminta pendapatnya di Surabaya, Selasa (18/6), mengatakan pelemahan rupiah saat ini selain karena masalah fundamental dalam negeri, juga ditambah tekanan dari eksternal.

"Masyarakat kita sangat konsumtif, di satu sisi mendorong angka pertumbuhan, tapi di sisi lain lebih banyak menyerap produk impor, baik untuk kebutuhan primer atau sekadar life style. Jika ini bisa ditekan dengan membatasi konsumsi masyarakat, tentu dampaknya akan sangat membantu rupiah," kata Wibisono.

Sebab itu, pemerintah harus serius membatasi impor, terutama produk pertanian yang sebenarnya bisa dihasilkan sendiri. Sinergi antar-stakeholders, paparnya, hanya bisa terjalin kalau memang masing-masing pihak punya political will mendahulukan kepentingan bangsa yang lebih besar.

Gerus Devisa

Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, mengatakan hampir pasti the Fed masih mempertahankan suku bunga tinggi dan ketidakmenentuan geopolitik akan mendorong kebijakan restriktif masing-masing negara. "Oleh sebab itu, segenap kekuatan bangsa harus bersama-sama mengikat tali gotong royong," kata Said dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (18/6).

Salah satu yang disorot Said adalah komunikasi publik pemerintah yang diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan rakyat. Di samping itu, dia juga merekomendasikan sejumlah upaya lainnya mulai dari tata kelola devisa agar lebih optimal dalam memperkuat cadangan devisa. Pemerintah bisa memberikan insentif agar makin banyak devisa yang masuk.

Selain itu, harus terus melakukan reformasi sektor keuangan agar lebih inklusif dan mendorong aliran modal asing semakin tumbuh. "Aliran masuk investasi portofolio kembali positif pada triwulan II 2024 (sampai dengan 30 Mei 2024) secara neto tercatat sebesar 3,3 miliar dollar AS. Artinya, peluang ini perlu terus dijaga oleh pemerintah dan Bank Indonesia (BI)," kata Said.

Hal yang tak kalah penting, jelas said, adalah pengetatan kebijakan impor, terutama pada sektor yang makin menggerus devisa. Dia menilai importasi hendaknya difokuskan sebagai kebijakan jangka pendek hanya untuk kebutuhan yang urgent.

Pemerintah juga perlu memastikan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi instrumen yang menarik bagi investor asing, dengan imbal hasil (yield) yang moderat agar tidak menjadi beban bunga.

Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan pemerintah harus menjaga APBN tetap sehat dengan mengantisipasi pembengkakan belanja pemerintah, terutama belanja barang/jasa yang masih diimpor, seperti senjata, energi, obat-obatan, tekstil termasuk pangan.

Baca Juga: