Oleh Dr Agus Riewanto
Publik baru saja dikejutkan kembali penangkapan oleh KPK atas delapan orang di Medan, Sumatera Utara, Selasa (28/8). Empat orang di antaranya hakim. Mereka adalah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Medan, Marsuddin Nainggolan, dan Wakil Ketua PN Medan, Wahyu Prasetyo Wibowo. Kemudian, hakim Sontan Merauke Sinaga dan hakim ad hoc, Merry Purba.
Namun, setelah dilakukan pemeriksaan dan gelar perkara, KPK hanya menetapkan Merry Purba sebagai tersangka diduga menerima suap senilai 280.000 dollar Singapura (tiga miliar rupiah) terkait perkara lahan negara eks hak guna usaha PT Perkebunan Nusantara II (Koran Jakarta, 30 Agustus 2018).
Kasus suap yang menimpa para hakim di pengadilan ini bukan pertama. Paling tidak KPK telah melakukan menangani kasus suap sebanyak 466 kasus tahun 2004-2018. Kemudian, 17 kasus di antaranya melibatkan para hakim, sisanya melibatkan aparat birokrasi pengadilan.
Fakta ini menunjukkan, praktik mafia peradilan terus berlanjut. OTT KPK tak mampu menjerakan perilaku suap dan jual beli putusan dari para hakim serta aparat birokrasi pengadilan. Hukum negeri ini mudah dibeli. Hari-hari belakangan, pengadilan dan penegakan hukum diambang krisis kepercayaan publik.
Persis seperti yang dialami saat ini, ketika beperkara melalui prosedur hukum (litigasi) maka yang diperoleh bukan keadilan dan kebenaran, melainkan kekecewaan serta kepiluan. Karena sistem hukum belum dapat membawa angin pengayom dan penenteram. Perilaku sogok, suap, meringankan atau memperberat hukuman bergantung pada besar kecilnya uang atau konsesi para pelaku hukum.
Padahal Justice Hugo Black dalam Griffin, Illinois, 351 U.S.12, 1956 menyatakan, "….there can be no equal justice where the kind of trial a man gets depends on the amount of money he has" ("…. tak akan pernah keadilan dapat tercapai jika masih didasarkan pada besar kecilnya uang pendapatan).
International Commission of Justice (ICJ) telah mengategorikan, segala perbuatan, sikap dan perilaku yang menyebabkan lembaga peradilan tidak independen seperti suap, janji-janji, promosi, gratifikasi, pemakaian fasilitas umum secara keliru, penyalahgunaan wewenang, kolusi antara hakim, dan advokat sebagai bentuk mafia peradilan (judicial corruption). Ini kemudian diadopsi International Bar Association (IBA) dalam pertemuan dua tahunan di Amsterdam tahun 2000.
Tindakan ini disebut mafia karena dilakukan mirip perilaku gang mafia ketika melakukan kejahatan untuk memangsa objeknya dengan cara halus, sistematis, terstruktur dan sulit dijamah logika awam. Perilaku korupsi kasus di pengadilan dilakukan oleh semua unsur birokrasi penyokong lembaga terhormat itu.
Karena itu, mengungkap kasus mafia peradilan bukan perkara sederhana. Diperlukan kemauan kuat untuk memeranginya dan dukungan politik dari semua institusi, termasuk presiden, kepolisian, kejaksaan, advokat dan organisasi persatuan hakim (Ikatan Hakim Indonesia/IKAHI) untuk bersedia menegakkan 10 nilai pengadilan yang ideal. Nilai tersebut adalah persamaan di depan hukum, keadilan, imparsial, membuat keputusan independen, kompetensi, integritas, terbuka, mudah diakses, tepat waktu, dan memiliki kepastian.
Eksaminasi
Langkah berikutnya untuk membongkar dan memberantas mafia peradilan membudayakan eksaminasi publik atas putusan-putusan perkara yang kontroversial alias melukai nurani rakyat. Namun, eksaminasi yang lazim di dunia peradilan biasanya hanya di kalangan internal pengadadilan (MA, PN, dan PT) untuk memperbaiki kualitas putusan. Karena itu, eksaminasi hanya bersifat formalitas dari atasan atau rekan sejawat untuk menjalankan tugas. Jadi, tidak dalam rangka memberi sanksi tegas terhadap putusan yang tidak berkualitas. Terbukti hingga kini belum terlihat aparat hukum yang dipecat karena rendahnya kualitas putusan hukum.
Berbeda bila eksaminasi dilakukan rakyat (akademisi dan aktivis). Ini merupakan bagian kontrol publik terhadap putusan hukum. Jadi, dimungkinkan lebih objektif bersemangat keadilan dan kejujuran, bukan sekadar teknis administratif atau protokoler sebagaimana dilakukan institusi pengadilan.
Tujuan eksaminasi atas putusan hukum terhadap kasus kontroversial agar masyarakat memperoleh informasi jelas atas putusan hakim, terutama dasar pertimbangan hukum dalam memutus perkara. Juga potensi perilaku menyimpang dalam setiap putusan hukum. Selama ini putusan hakim sangat tertutup sehingga tak dapat diakses. Akibatnya, publik tak mampu melakukan kontrol atas putusan-putusan hukum terhadap kasus-kasus hukum kontroversial yang cenderung melukai rasa keadilan publik.
Usaha yang tak kalah penting untuk memerangi korupsi di peradilan perlu digagas manajemen pengelolaan kasus-kasus korupsi dengan semakin transparan. Ini bisa dimulai dengan menerapkan manajemen pelayanan masyarakat dengan memanfaatkan teknologi informasi (TI). Begitu pula sistem pelayanan peradilan perlu mengakomodasinya.
Dengan sistem e-court semua proses peradilan dikomputerisasi. Misalnya, penentuan majelis hakim akan otomatis ditentukan komputer, sehingga peluang memesan hakim yang kabarnya bisa dilakukan, tidak terjadi. Ide dasar e-court demi transparansi. Diharapkan dengan transparansi, korupsi dapat direduksi. Publik pun akan mudah mengontrol perilaku hakim. Sebaliknya, seorang hakim tak dapat memilih untuk minta jatah harus mengadili perkara yang diinginkan.
Untuk memberantas mafia peradilan Komisi Hukum Nasional (KHN) tahun 2003 telah merekomendasi pembentukan semacam "Lembaga Pengawas Pelaksanaan Disiplin Profesi Hukum" yang mengawasi lembaga-lembaga penegak hukum seperti kejaksaan, kepolisian, hakim, advokat, dan panitera. Tujuannya agar mereka mengembangkan "Standar Minimum Disiplin Profesi Hukum Indonesia." Adapun kewenangan lembaga ini haruslah kuat dan putusannya mengikat, tak dapat diganggu gugat. Dia harus dipatuhi.
Pendirian "Lembaga Pengawas Pelaksanaan Disiplin Profesi Hukum" penting dilakukan karena pengawasan internal pengadilan lembaga pengawasnya sangat tak bergigi dan cenderung lebih melindungi korpsnya. Bahkan terdapat kecenderungan resisten atas rekomendasi putusan-putusan lembaga-lembaga pengawas tersebut.
Penulis Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum UNS