JAKARTA - Keseriusan pemerintah untuk mengurangi emisi karbondioksida dengan mengenakan disinsentif berupa pajak karbon ke industri yang menggunakan energi kotor atau fosil dinilai sebagai langkah maju. Namun demikian, besaran tarifnya sebesar 30 rupiah per kilogram (kg) atau 30 ribu rupiah per ton terlalu murah.
Direktur Eksekutif Institute for Essential and Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Senin (28/2), meminta agar pemerintah menaikkan tarif pajak karbon. Sebab, tarif yang akan berlaku mulai April 2022 itu tidak akan mampu mendorong dekarbonisasi seperti yang diharapkan.
"Harga 30 rupiah per kg atau 30 ribu rupiah per ton terlalu murah, untuk mendorong perubahan perilaku pelaku usaha atau bisnis untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan berinvestasi ke teknologi rendah karbon atau energi hijau," kata Fabby.
Bank Dunia, paparnya, telah merekomendasikan besaran tarif pajak karbon sekitar 35-40 dollar AS per ton. Di Tiongkok, ketika memulai perdagangan emisi untuk pembangkit listrik, harganya ditetapkan 6,9 dollar AS per ton dan akan naik menjadi 15 dollar AS per ton pada 2030.
"Kenaikan harga ini dilakukan dengan memperketat emission allowance untuk sektor yang akan dikenakan pajak karbon tersebut," ungkap Fabby.
Motor Pengendali
Diminta secara terpisah, peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam, mengatakan pemerintah harus serius mengembangkan ekonomi hijau dengan memberi insentif. Sebaliknya, diinsentif diterapkan melalui tarif pajak karbon yang lebih progresif sehingga komitmen pemerintah akan lebih terlihat progresif juga.
"Langkah ini juga akan memperlihatkan keseriusan pemerintah sehingga masyarakat internasional percaya bahwa Indonesia bisa menjadi motor penggerak pengendalian iklim dunia," kata Surokim.
Kenaikan tarif juga akan menjadi sarana rekayasa sosial untuk mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. Dari kenaikan tarif itu bisa digunakan untuk memperluas program sosial masyarakat kelas bawah dan juga insentif investasi teknologi ramah lingkungan.
Oleh karena itu, perlu roadmap (peta jalan) sebagai pijakan bagi Indonesia untuk ikut menjaga dan mengendalikan iklim dunia menuju perekonomian hijau yang berkelanjutan.
"Harus ada langkah progresif agar Indonesia bisa menjadi pioner dan penentu arah kebijakan iklim global," pungkasnya.
Sementara itu, Peneliti Alpha Research Data Base, Ferdi Hasiman, mengatakan rendahnya tarif pajak karbon menunjukan ketidakseriusan mendorong dekarbonisasi.
"Jika serius tarifnya tidak hanya di angka 30 rupiah per ton, tetapi mengikuti banyak negara lain yang mematok tinggi karena mereka serius," katanya.