JAKARTA - Kebijakan pemerintah yang akhirnya menunda penerapan pengenaan pajak karbon dinilai akibat sikap terburu-buru mematok tarif. Dalam perkembangannya, tarif itu sangat jomplang dibanding dengan yang ditetapkan negara lain.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Airlangga Surabaya, Gitadi Tegas, mengatakan kebijakan harus dipersiapkan sebaik mungkin sebelum diterapkan.
"Pemerintah harus punya roadmap yang jelas untuk mendukung peralihan ke energi bersih ini, sehingga turunannya seperti pajak karbon lebih jelas. Kebijakan untuk mengembangkan energi terbarukan, juga harus tegas mengatasi kekuatan yang punya kepentingan dengan energi fosil. Pelonggaran dan insentif diperlukan untuk mendorong peralihan ini," kata Gitadi.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan pemerintah sebaiknya menyesuaikan harga karbon dengan target penurunan emisi di 2025 dan 2030.
Besaran tarif harus disinkronkan dengan rencana dan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Selain itu, perlu diperkuat kesiapan institusi untuk melaksanakan pajak karbon.
Fabby bersikeras agar pajak karbon disesuaikan dengan tarif global. Bank Dunia, paparnya, telah merekomendasikan besaran tarif pajak karbon sekitar 35-40 dollar AS per ton. Di Tiongkok, ketika memulai perdagangan emisi harga yang ditetapkan 6,9 dollar AS per ton dan akan naik jadi 15 dollar AS per ton pada 2030. "Angka 30 rupiah per kg atau 30 ribu rupiah per ton dari pemerintah terlalu murah," tegasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (Meti), Surya Darma, mengakui angka yang dipatok dalam Nilai Emisi Karbon (NEK) tarifnya memang sangat murah dibanding negara-negara lain.
Mekanisme Perdagangan
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menyatakan penundaan berlakunya pajak karbon dari 1 April 2022, menjadi Juli 2022 karena pemerintah masih melakukan koordinasi untuk sinkronisasi roadmap. Dia mengaku ada yang rumit dalam pengenaan pajak karbon khususnya pada mekanisme perdagangan karbon antarnegara yang mengharuskan adanya kesepakatan global.
Tiap negara menerapkan tarif yang berbeda, sehingga berpotensi menimbulkan kebocoran. Di Jepang, misalnya, pajak karbon 3 dollar AS per ton CO2e, sedangkan di Prancis mencapai 49 dollar AS per ton CO2e. Kemudian, di Spanyol sebesar 17,48 dollar AS per ton CO2e untuk semua sektor emisi gas rumah kaca (GRK) dari gas HFCs, PFCs, dan SF6, sedangkan di Kolombia sebesar 4,45 dollar AS per ton CO2e untuk semua sektor.
Menurut perhitungan, agar dunia berhasil mengatasi climate change maka harga karbon bisa mencapai 125 dollar AS.