JAKARTA - Keputusan pemerintah menunda penerapan pungutan pajak karbon dari awal April ke Juni tahun ini, harus jadi momentum untuk merumuskan tarif yang betul-betul sepadan dengan tarif global. Selain kompetitif dengan tarif global, pungutan pajak karbon itu diharapkan bisa mencapai tujuannya untuk mengubah perilaku pelaku bisnis agar beralih memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan.

Peneliti Keuangan Iklim dan Energi Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Siti Shara, yang diminta pendapatnya mengatakan tarif pajak karbon yang ditetapkan pemerintah memang terlalu rendah yakni 30 rupiah per kilogram (kg) CO2e, sangat jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan IMF untuk negara berkembang yang berkisar antara 35 dollar AS hingga 100 dollar AS per ton.

Dengan tarif yang terlalu murah, papar Siti, penerapan pajak karbon menjadi kurang efisien karena tidak terlalu berdampak signifikan pada eksternalitas biaya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Sedangkan tujuan utama penerapan pajak karbon adalah mengubah perilaku pebisnis untuk beralih ke aktivitas ekonomi yang rendah karbon.

"Jika pungutan emisi karbon terlalu rendah, para pebisnis tidak merasa terbebani sehingga mereka terus melanjutkan kegiatan bisnis batu bara mereka yang menghasilkan dampak lingkungan yang sangat besar. Mereka enggan beranjak dari bisnis tersebut dan melangkah ke energi terbarukan," tegas Siti.

Tarif yang terlalu rendah juga tidak dapat menutupi biaya ekonomi yang dihasilkan dari dampak emisi karbon yang harus ditanggung pemerintah dan masyarakat, bahkan dampak perubahan iklim yang sedang mengancam.

"Jika pemerintah tetap menggunakan batas tarif yang ada saat ini untuk diterapkan pada Juli 2022 nanti, Indonesia mungkin akan sulit untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 dan Net Zero Emission (NZE) 2060," jelas Siti.

Pemerintah, imbau Siti, harus menaikkan batas tarif pajak karbon hingga minimal mendekati tarif global guna memenuhi komitmen yang telah dibuat demi meminimalisir dampak perubahan iklim.

Sementara itu, pengamat lingkungan sekaligus pakar pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan penerapan pajak karbon sekalipun berbeda dengan negara lain, secara bertahap harus mengikuti norma dan ketentuan global.

"Pemberlakuan carbon tax ini berorientasi mengurangi jumlah karbon di udara dan alam ini. Memang kalau diterapkan langsung dengan ketat, akan banyak industri kita yang collapse, juga saat kemarau, kita banyak menyumbang asap dari berbagai peristiwa kebakaran hutan. Namun, pemerintah tetap harus menetapkan batas dari road map yang ada, kapan nilai carbon tax kita harus dinaikkan atau disesuaikan. Penyesuaian ini harus sesuai norma-norma global, jadi jangan di tiga dollar AS per ton," kata Ramdan.

Defisit 47-97 Dollar AS Per Ton

Pada kesempatan terpisah, pengamat kebijakan dari Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, Umar Sholahudin, mengatakan dengan tarif pajak karbon hanya tiga dollar AS per ton, akan menjadi kendala untuk mencapai target zero karbon yang telah ditetapkan.

"Tiga dollar AS sangat kecil, kalau pemerintah mengira pajak karbon sudah aman, itu terbalik dengan fakta. Kalau negara lain mengenakan tarif 50-100 dollar AS per ton kepada Indonesia. Sebaliknya, kalau kita kenalan tiga dollar AS per ton, kita defisit 47 dollar AS. Sangat tidak masuk akal, berarti kita defisit 47-97 dollar. Kalau angka permulaan dengan 25 dollar AS masuk akal, bukan tiga dollar AS. Jangan sampai kita jadi tempat pembuangan akhir karbon yang tanpa kendali," kata Wijaya.

Baca Juga: