Saat ini, tarif cukai tembakau di Indonesia sekitar 35 persen, di bawah anjuran WHO sebesar 66 persen dan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang besaran cukai rokok maksimal 57 persen.
Jakarta - Rencana kenaikan cukai rokok oleh pemerintah memicu polemik di masyarakat. Selain meningkatkan pendapatan negara, kenaikan tersebut dinilai dapat mendorong tingkat kesehatan masyarakat. Namun, kenaikan tersebut dikhawatirkan berdampak pada upaya memacu pertumbuhan ekonomi.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan terdapat empat hal yang mendasari skema kenaikan tarif cukai tembakau pada 2018. Aspek pertama, lanjutnya, kenaikan tarif cukai tersebut berdampak pada sektor tenaga kerja. Hal kedua, kata dia, terkait dengan aspek kesehatan.
Kemudian, aspek ketiga terkait dengan penanganan rokok ilegal yang selama ini dirasakan mengganggu dan merugikan industri. "Kalau banyak orang mampu dan banyak bisa dengan mudah memproduksi rokok ilegal maka semuanya akan mengalami kekalahan, baik industri, masyarakat maupun pekerjanya," ujar Sri Mulyani, di Jakarta, Selasa (24/10).
Aspek keempat adalah penerimaan cukai hasil tembakau yang dalam jangka pendek bermanfaat untuk mendukung pendapatan negara. Sebelumnya, pemerintah akan menaikkan cukai tembakau rata-rata 10,04 persen yang berlaku pada 1 Januari 2018, berdasarkan keputusan yang ditetapkan dalam rapat internal yang dipimpin Presiden Joko Widodo.
Saat ini, tarif cukai tembakau di Indonesia berada pada kisaran 35 persen, atau masih di bawah anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan tarif cukai tembakau sebaiknya minimal 66 persen dari harga jual eceran. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai menetapkan tarif cukai rokok maksimal 57 persen.
Di sisi lain, kebijakan tersebut dirasa memberatkan pelaku industri rokok. Terlebih lagi, produksi rokok saat ini berada dalam tren penurunan. Berdasarkan data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), produksi rokok pada 2015 sempat naik 348,12 miliar batang dari sebelumnya sebanyak 344,52 miliar batang pada 2014.
Namun, pada 2016, produksi rokok turun menjadi 342 miliar batang. Ketua Gappri, Ismanu Soemiran, memperingatkan peningkatan tarif cukai rokok dapat menurunkan produksi sekitar 2-3 persen.
Industri Jenuh
Sementara itu, Pengamat Pajak Indef, Reza Akbar, mengungkapkan saat ini bisnis rokok mulai jenuh. Karena itu, menurut dia, apabila kebijakan tersebut dipaksakan, pabrik-pabrik skala kecil dan menengah dikhawatirkan gulung tikar. Sebagai akibatnya, lanjutnya, pengangguran berisiko meningkat. Selain itu, sektor hulu meliputi petani tembakau dan cengkeh juga ikut terancam.
"Untuk jangka pendek, kenaikan tarif cukai rokok justru kontraproduktif dengan keinginan pemerintah memacu pertumbuhan ekonomi dan menjaga daya beli rakyat," ujarnya kepada Koran Jakarta, kemarin. n
ahm/Ant/E-10