Penerimaan pajak diperkirakan lebih rendah dari target karena adanya pembatasan aktivitas masyarakat, terutama akibat varian Delta yang pengaruhnya muncul pada semester II.

JAKARTA - Pemerintah merevisi turun proyeksi penerimaan pajak tahun ini. Pemangkasan tersebut disebabkan dampak pembatasan aktivitas ekonomi masyarakat dalam rangka menekan penyebaran Covid-19 di dalam negeri.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengubah proyeksi penerimaan pajak tahun ini dari yang awalnya diperkirakan mencapai 1.176,3 triliun rupiah menjadi 1.142,5 triliun rupiah dari target dalam APBN Rp1.229,6 triliun.

"Penerimaan pajak akan lebih rendah dari target dengan adanya PPKM akibat varian Delta yang pengaruhnya muncul di semester II atau kuartal III," katanya dalam Raker bersama Komisi XI DPR RI, di Jakarta, Senin (23/8).

Menkeu menyatakan penerimaan pajak diperkirakan lebih rendah dari target karena adanya pembatasan aktivitas masyarakat terutama akibat varian Delta yang pengaruhnya muncul pada semester II. Dia menambahkan, dengan adanya proyeksi penerimaan pajak hanya 1.142,5 triliun rupiah atau 92,9 persen dari target APBN maka akan terjadi kekurangan pajak atau shortfall sebesar 87,1 triliun rupiah dari proyeksi sebelumnya 53,3 triliun rupiah.

Meski demikian, perkiraan penerimaan pajak sebesar 1.142,5 triliun rupiah tersebut masih tumbuh 6,6 persen (yoy), namun memang lebih tertekan dibanding realisasi semester I-2021. Penerimaan pajak semester I-2021 adalah sebesar 557,8 triliun rupiah atau 45,36 persen dari target 1.229,6 triliun rupiah dan naik 4,9 persen (yoy) dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 531,77 triliun rupiah.

"Juli sampai Agustus akan terpukul. Kita perkirakan menyebabkan penerimaan pajak terefleksi, tidak setinggi di semester I-2021," katanya.

Di sisi lain, dia menjelaskan terdapat beberapa sektor yang penerimaan pajaknya mulai pulih, seperti industri pengolahan, perdagangan, serta informasi dan komunikasi.

Dengan adanya koreksi outlook penerimaan pajak ini maka pendapatan negara tahun ini diperkirakan hanya akan mencapai 1.735,7 triliun rupiah atau 99,5 persen dari target APBN 1.743,6 triliun rupiah.

Tunda RUU Perpajakan

Pada kesempatan lain, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyarankan pemerintah menunda pengesahan beberapa aturan dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) pada 2022.

Salah satunya, rencana menjadikan bahan pokok, layanan pendidikan, dan layanan kesehatan sebagai objek kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berpotensi menurunkan daya beli masyarakat yang baru pulih dari Covid-19. "Dimohon sekali pembahasan objek PPN di-drop saja dari RUU KUP karena kontradiksi terhadap pemulihan ekonomi yang ditarget 5 sampai 5,5 persen pada 2022," kata Bhima, di Jakarta, Senin (23/8).

Dia pun meminta pengampunan pajak atau tax amnesty yang terindikasi dalam RUU KUP Pasal 37 tidak disahkan pemerintah. Dia khawatir pengampunan pajak yang sebelumnya juga telah dijalankan pada 2016 dapat menurunkan kepercayaan Wajib Pajak (WP) kepada pemerintah.

Selain itu, Bhima juga meminta penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan menjadi 20 persen pada 2022 dievaluasi kembali. PPh perusahaan terbuka juga direncanakan turun lebih rendah, menjadi 17 persen pada tahun depan.

Baca Juga: