Pulau Samosir di Sumatra Utara memiliki keunikan yaitu terdapatnya sebuah danau mungil nan elok. Karena Pulau Samosir dikelilingi oleh Danau Toba, maka Tao Sidihoni sering dijuluki dengan "Danau di atas Danau".

Pulau Samosir di Sumatra Utara memiliki keunikan yaitu terdapatnya sebuah danau mungil nan elok. Karena Pulau Samosir dikelilingi oleh Danau Toba, maka Tao Sidihoni sering dijuluki dengan "Danau di atas Danau".

Di tengah Danau Toba yang luasnya mencapai 1.130 kilometer persegi terdapat pulau bernama Pulau Samosir dengan luas 640 kilometer persegi. Uniknya di pulau ini terdapat Tao Sidihoni, sebuah danau mungil nan elok.

Arti dari tao dalam bahasa Batak artinya danau. Sedangkan sidihoni berasal dari kata diahoni yang berarti "diantar makanannya".

Legenda menyebutkan, pada zaman dahulu, ada seorang anak yang baru lahir dan punya kelainan. Orang tuanya mengantarkan makanan tersebut dengan harapan sang anak dapat bertahan hidup. Namun keanehan terjadi, di tempat itu menyembur air dari dalam tanah dalam jumlah yang sangat banyak yang menciptakan Tao Sidihoni.

Karena Tao Sidihoni berada di Pulau Samosir yang dikelilingi oleh Danau Toba, maka posisinya biasa disebut berada di dalam danau. Namun karena Danau Tob berada pada ketinggian 905 meter di atas permukaan air laut, sedangkan Tao Sidihoni berada pada 1.295 mdpl, maka posisinya menjadi lebih tinggi. Letak Tao Sidihoni yang unik ini menjadikannya sering dijuluki dengan "Danau di atas Danau."

Danau ini bukan satu-satunya di Pulau Samosir. Danau di atas danau lainnya adalah Tao Aek Natonang yang lebih kecil dan kurang bisa dilihat langsung bersama dengan Danau Toba sehingga menjadi kurang popular.

Tao Sidihoni beralamat Desa Sabungan Ni Huta, Kecamatan Ronggur Ni Huta, Kabupaten Samosir, Sumatra Utara. Pemandangan danau di atas danau ini dapat terlihat ketika wisatawan berada di titik di timur danau ini lalu menghadap ke barat. Pada titik ini selain terlihat Tao Sidihoni juga terlihat Danau Toba di kejauhan dengan pegunungan terjal sebagai latar belakangnya.

Pemandangan sekitar Tao Sidihoni berupa danau dengan airnya yang jernih dan kadang berubah menjadi keruh. Di bibir danau dan sekelilingnya ditumbuhi dengan rerumputan hijau, semak-semak serta pepohonan yang tidak begitu tinggi.

Danau dengan luas hanya 5 hektare ini relatif berada di tengah Pulau Samosir. Jika wisatawan masuk melalui jembatan Aek Tano Ponggol Samosir, maka akan cepat sampai. Jarak dengan jembatan tersebut hanya 10,3 kilometer atau dalam waktu tempuh 27 menit saja.

Meski berada di dalam kawasan kaldera Toba, Tao Sidihoni terbentuk bukan karena peristiwa vulkanik melainkan lebih ke peristiwa tektonik. "Pembentukan Tao Sidihoni menjadi danau tidak berkaitan lagi dengan proses erupsi Toba. Tao Sidihoni terbentuk bersamaan dengan terangkatnya pulau Samosir," ungkap Vice General Manager Toba Caldera Geopark, Gagarin Sembiring.

Di titik tersebut terbentuk akibat pembentukan sistem cekungan dampak dari patahan lokal hasil kegiatan tektonik. Lalu, pada saat cekungan terbentuk, terjadi pelarutan-pelarutan. Salah satu endapan danau pun ada yang bersifat lempung yang dikenal kedap air.

Endapan batuan lempung tersebut kemudian melapisi dasar cekungan. Proses pelapisan ini sekaligus menjadi penahan air hujan yang tertampung di cekungan sehingga air ini kemudian dipergunakan oleh warga sekitar untuk berbagai kebutuhan.

"Karena sifat dasarnya dari endapan batuan lempung yang mampu menahan air, maka air tidak lagi merembes ke luar," ujar Gagarin dikutip dari laman Badan Pelaksana Otorita Danau Toba.

Pusat Kehidupan

Menurut penuturan para leluhur sekitar danau dulunya adalah hutan lebat dengan rawa-rawa di tengahnya yang saat ini telah menjadi bagian dari danau.

Ketika kemarau panjang melanda warga kampung mengalami kesulitan mendapatkan air. Warga kemudian memanfaatkan air dari danau ini untuk berbagai kebutuhan, baik untuk mencuci, memasak, bahkan hingga memandikan kerbau. Sedangkan hilangnya pepohonan disekitarnya karena banyak ditebang oleh warga untuk berbagai kebutuhan, sehingga kini menjadi padang rumput.

Kerbau yang memakan rumput dan minum dan mandi di air Tao Sidihoni adalah pemandangan yang keseharian di sini. Hewan ternak itu digembalakan oleh anak-anak Desa Sabungan Ni Huta. Keberadaan danau seolah menjadi pusat kehidupan di desa itu.

Karena pentingnya Tado Sidihoni, warga terus berusaha menjaga lingkungan alamnya agar tetap lestari. Bahkan untuk bertingkah laku saja mereka patuh dengan apa yang digariskan. Misalnya setiap kali mereka menggunakan airnya mereka akan bersyukur kepada Yang Maha Kuasa.

"Setiap hari, kami mempergunakan air danau ini, baik untuk minum, mencuci, memandikan kerbau atau kebutuhan lainnya. Tapi, setiap hari juga kami mengucap syukur kepada Mulajadi Nabolon dan permisi marsattabi terhadap para leluhur pendahulu kami setelah mengambil air dari tao ini," ujar Nai Simsim Simare-mare, warga sekitar yang tengah beraktifitas di tepi danau, dikutip dari laman tersebut.

Tao Sidihoni menjadi berkah bagi masyarakat sekitar. Sebelum ada agama masuk, masyarakat selalu mengadakan ritual doa untuk memohon pertolongan dan sebagai tanda rasa syukur. Tradisi yang sampai kini masih lestari adalah Mangarsak Lambe berupa menabuh gendang sehari semalam tanpa henti.

Dalam prakteknya, tradisi ini berarti mengucapkan syukur kepada Yang Kuasa karena sudah memberi hasil panen yang melimpah. Warga kampung yang umumnya bertani dan beternak akan serentak membawa hasil bumi dan ternak mereka sebagai persembahan.

Untuk upacara tradisi di sekitar Sidihoni, bale-bale didirikan dan tempat sesaji para leluhur, termasuk kepada penguasa-penguasa yang mereka yakini sebagai wakil Tuhan secara gaib di alam Sidihoni. Puji-pujian disampaikan kepada namboru (saudara perempuan dari ayah) mereka, Sittalahi.

Sebagai kearifan lokal untuk menjaga danau dari kerusakan mereka tetap mensakralkan Tao Sidihoni sampai hari ini. Salah satu upacara yang dilakukan di Tao Sidihoni adalah hajatan gondang dapat diartikan sebagai seperangkat alat musik, ansambel musik, sekaligus komposisi lagu. Seremoni ini terbesar terakhir kali digelar pada tahun 2006.

Sebelumnya hajatan gondang pernah dilakukan pada tahun 2004 bertepatan dengan terjadinya tsunami Aceh. Saat itu Tao Sidihoni mengering sehingga dilaksanakan ritual untuk memohon kepada Mulajadi Nabolon atau pencipta alam semesta dan para leluhur agar airnya kembali terisi.

Warga percaya ketika itu air Tao Sidihoni mengering dan keruh atau berubah warna hal ini menjadi tanda bagi penduduk di sana akan terjadi sesuatu. Sesuatu yang terjadi bisa berupa kebaikan ataupun keburukan.

Jika air Tao Sidihoni jernih, volumenya penuh dan sedikit membiru, itu merupakan pertanda baik bagi warga setempat. Mereka akan mengalami kemakmuran dengan panen yang melimpah, termasuk juga ternak-ternak yang semakin gemuk.

Perubahan warna air danau menurut Gagarin secara geologi merupakan fenomena biasa. Penyebabnya adalah karena adanya erosi-erosi kecil. Sebab endapan lempung kedap air memiliki ukuran butir yang sangat halus dan rapat, yang membuat seperti semen sehingga air tidak mampu melewatinya.

Warna keruh timbul ketika kadar material dalam air terjadi proses sedimentasi. Proses sedimentasi ini tentu mengakibatkan kepadatan larutan yang memberi warna pada air, tergantung keadaan lingkungannya.

Ketika proses sedimentasi terjadi berada pada lingkungan gambut warna airnya akan memerah. Demikian juga ketika terjadi banyak endapan lumpur dari tanah yang berada di sekitarnya dibagian yang bukan gambut air keruhnya berwarna kecoklatan. Sejauh ini, kata Gagarin, tidak ada unsur kimia misalnya dari pupuk yang digunakan warga untuk bercocok tanam atau lainnya.

Kekeruhan lain juga disebabkan faktor tiupan angin. Berada di ketinggian membuat kecepatan angin di sini cukup kencang yang menciptakan guncangan hingga ke dalam hingga ke dasar terutama di wilayah yang dangkal.

Dampak dari tiupan angin membuat endapan lempung yang bercampur lumpur yang teraduk. Hal ini mengubah warna air Tao Sidihoni dari biru cerah agak keputihan menjadi keruh kecoklatan yang kurang sedap dipandang.

Namun pada prinsipnya, kata Gagarin, Tao Sidihoni harus dijaga keberadaannya terutama dicegah dari erosi. Sejauh ini di sekitarnya berapa pepohonan yang tidak lagi rapat seperti dulu dan padang rumput tempat warga menggembalakan ternaknya.

"Danau ini harus dijaga agar tidak terjadi erosi, sehingga menimbulkan endapan-endapan lain," tutur Gagarin.

Untuk sampai ke Tao Sidihoni dari Medan bisa menempuh jalur darat yakni melewati Tele lalu menuju jalan lintas Pangururan-Ronggur Ni Huta lalu Tomok. Dari Muara Tapanuli Utara, pengunjung bisa naik KMP Muara Putih tujuan Samosir dan sandar di Dermaga Sipinggan di Kecamatan Nainggolan dan lanjut ke Kota Pangururan.

Sedangkan dari Kabupaten Toba ada dua pilihan, yakni menaiki feri penyeberangan reguler yang sandar di Kecamatan Onan Runggu. Kemudian dari Dermaga Ajibata tujuan Tomok-Ambarita, dan juga dari Kabupaten Simalungun dari Pelabuhan Tiga Ras Dermaga Simanindo. hay/I-1

Baca Juga: