Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) baru saja menggelar Kongres V di Denpasar, Bali. Salah satu keputusan penting dan paling ditunggu seluruh kader adalah pengukuhan Megawati sebagai ketua umum.

Mengapa pengukuhan? Karena kongres tidak melakukan pemilihan. Sebagian besar kader dan pengurus mulai dari tingkat cabang hingga daerah menghendaki agar Megawati tetap memimpin mereka. Inilah rekor terlama seorang ketua umum partai politik Tanah Air.

Megawati memang identik dengan PDIP. Bahkan mungkin pas disebut ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dilepaskan. Pahit getir dan perjuangan panjang untuk menjadi partai besar memang dilalui PDIP bersama Megawati. Partai ini merupakan kelanjutan dari PDI, partai politik yang kerap dikerdilkan bersama PPP semasa Orde Baru.

Seiring perubahan politik, partai pun berubah nama menjadi PDIP dengan tambahan kata Perjuangan dan lambang tetap mencirikan banteng, tapi dengan tambahan moncong putih. Maka, PDI di bawah Megawati berubah menajdi PDIP dengan lambang banteng moncong putih. Jasa dan perjuangan Megawati membawa PDIP ke deretan partai papan atas memang tidak bisa dibantah.

Pada pemilu pertama masa reformasi, 1999 partai ini langsung menyedot perhatian pemilih dan berhasil memenangkan pemilu. Hanya, untuk pemilihan presiden yang ketika itu masih melalui MPR, akhirnya dimenangkan KH Abdurrahman Wahid. Megawati menjadi wapres. Kemudian, di tengah jalan, karena ada memorandum I dan II yang berujung lengsernya Gus Dur, Megawati naik menjadi presiden.

Jika kini Kongres V PDIP di Bali mengukuhkan Megawati sebagai ketua umum, tidak ada yang berani membantah. Dia bukan sekadar ketua umum, tetapi menjelma menjadi roh partai. Megawati menjadi perekat seluruh kader dan elite PDIP. Praktis kepemimpinan Megawati tak tergoyahkan.

Kejelian dan feeling politik Megawati untuk menunjuk dan memberi mandat pada Joko Widodo (Jokowi) menjadi calon presiden pada 2014 menjadi klimaks naluri politik Megawati. Figur kuat Jokowi dengan rekam jejak amat bagus, sederhana, dan apa adanya, menjadi magnet perhatian. Dia mendapat dukungan politik dalam waktu singkat.

Bukan hanya bagi dirinya untuk terpilih sebagai presiden, tetapi mendongkrak suara PDIP yang sebelumnya keok berhadapan Partai Demokrat selama dua kali pemilu (2004 dan 2009). Kecemerlangan Jokowi dalam memimpin republik lima tahun terakhir dan pencalonan kembali yang membuahkan hasil, juga berimplikasi sangat positif bagi PDIP.

Jokowi terpilih kembali menjadi presiden dan PDIP pun tampil sebagai pemenang Pemilu 2019. Kini, PDIP menghadapi tantangan yang cukup berat dalam konteks pascakepemimpinan Jokowi dalam pemerintahan. Perilaku pemilih dalam pemilu kerap berubah sesuai dengan tampilan figur dan kepemimpinannya. Bukan tidak mungkin setelah Jokowi selesai 2024, maka PDIP menghadapi tantangan terberatnya.

Maklum, Megawati tak mungkin maju kembali jadi capres. Jika pun maju, elektabilitasnya pasti rendah. Hal itu sudah dibuktikan ketika Megawati masih menjadi Presiden 2004, maju capres kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono. Jadi, mulai kini, PDIP harus berpikir panjang untuk lima tahun mendatang.

Persiapan paling penting memunculkan kader-kader muda untuk tampil sebagai pemimpin. Beberapa kepala daerah yang relatif masih muda bisa menjadi alternatif. Tapi, bisa juga memunculkan figur lain atau mencari nama-nama tokoh nonpartai yang bisa dikader sebagai pemimpin.

Nanti diajukan sebagai kandidat presiden. Apabila PDIP tidak mampu mencari figur sekuat Jokowi, bukan tidak mungkin roda partai akan bergulir kembali ke bawah. Publik atau pemilih akan cepat berubah menentukan figur yang kuat.

Baca Juga: