» Dengan rencana besar, otomatis akan membenahi masalah yang kecil-kecil.

» Utang seharusnya digunakan untuk menggerakkan pembangunan bukan mensubsidi konglomerat.

JAKARTA - Rancangan pembangunan nasional yang dituangkan dalam visi baru bangsa, yaitu Indonesia Emas 2045 dengan jargon "Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur" dinilai hanya akan kembali jadi slogan yang tidak pernah terealisasi kalau pemerintah tidak mempunyai rencana besar yang hendak dicapai.

Padahal, Indonesia Emas 2045 merupakan momen yang monumental bagi Indonesia karena akan genap merdeka selama 100 tahun. Bertepatan dengan itu, Indonesia diprediksi akan memperoleh bonus demografi karena 70 persen penduduknya berada di usia produktif, yaitu usia 15 hingga 64 tahun. Jumlah usia produktif yang tinggi itu sangat menguntungkan jika kinerja dan produktivitasnya optimal.

Sebaliknya, kalau bonus demografi tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, akan membawa dampak buruk pada negara karena muncul masalah sosial, seperti kemiskinan, kriminalitas, pengangguran, dan tingkat kesehatan yang rendah.

Pengamat Ekonomi dari STIE YKP, Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Jumat (15/7), mengatakan para pemimpin bangsa, baik Presiden Joko Widodo maupun penjabat lainnya, sudah memikirkan dan berusaha keras melakukan berbagai terobosan, tetapi masih ada hal penting yang mereka perlu jawab.

"Apa yang kurang ya? Sudah banyak yang dikerjakan, tetapi sepertinya benang kusut," kata Aditya.

Menurutnya, substansi dari segalanya adalah perlu ada rencana yang besar. Tanpa rencana besar, Indonesia tidak akan bisa lepas landas. "Seperti kita mau lepas dari gravitasi bumi, harus punya roket, tidak bisa dengan pesawat jet apalagi baling-baling. Kita itu ibarat banyak kapal kecil di samudera yang luas. Persaingan dunia itu bagai samudera yang gelombangnya sangat tinggi. Meski kita punya seribu kapal kecil, ya akan ditelan. Kita harus punya kapal induk karena yang dihadapi raksasa dunia," jelas Aditya.

Kalau saat ini masih memikirkan bagaimana membangun pabrik baterai dan mau merakit handphone di Indonesia, maka itu sama dengan pemikiran puluhan tahun lalu yang hanya menjadi tukang jahit.

"Dengan rencana besar, otomatis akan membenahi masalah yang kecil-kecil. Tanpa itu maka tidak ada yang mendorong untuk bisa melaksanakannya. Selain itu, tidak ada tekad dan semangat untuk merealisasikannya," katanya.

Lebih lanjut dikatakan bahwa masalah yang tidak dibenahi itu akan dibabat habis kalau ada rencana besar yang menjadi tujuan. Indonesia, tambahnya, harus menetapkan apa yang menjadi rencana besarnya. Sebab, pemerintah masih punya waktu dua tahun.

"Selama ini, silih berganti pemerintahan yang ditinggalkan hanya utang besar. Negara lain bukan hanya menguasai teknologi, tapi mereka sudah memikirkan hidup di luar angkasa. Kita hanya urusin tetek bengek, itu pun tidak diselesaikan," kata Aditya.

Berkaitan dengan rendahnya kemampuan teknologi, Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan potensi sumber daya untuk membangun industri nasional tersebut sangat besar, tinggal komitmen dan dukungan para pihak untuk merealisasikannya secara bersama-sama. Berbagai mimpi dan gambaran besar itu dapat terwujud melalui gerakan bersama.

"Dalam hal ini, perlu kepeloporan yang dapat berasal dari pemerintah, kampus, koperasi, dan swasta," jelas Awan.

Bebani APBN

Dalam kesempatan terpisah, Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Suroso Imam Djazuli, yang diminta pendapatnya mengatakan dengan rencana besar, semua masalah-masalah yang menghambat laju pembangunan selama ini pasti bisa diselesaikan. Hal utama yang menghantui adalah utang, terutama pembayaran bunga obligasi rekap sangat membebani APBN sehingga berdampak ke pembangunan.

"Pokok dan bunganya begitu besar, sampai-sampai harus ditutup dengan utang baru. Utang-utang itu harusnya digunakan untuk menggerakkan pembangunan, karena digunakan untuk membayar utang, akibatnya menghambat berbagai bidang dan akhirnya rakyat juga yang menanggung," kata Suroso.

Padahal, mereka yang lebih berhak menikmati anggaran dalam bentuk program nyata yang sifatnya produktif, bukan yang konsumtif, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau impor. "Hasilnya akan lebih jelas, ketahanan pangan bisa meningkat sekaligus memperbaiki defisit neraca perdagangan," pungkas Suroso.

Baca Juga: