Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan mendata nomor telepon dan media sosial milik mahasiswa, dosen, dan pegawai pada awal tahun kalender akademik 2019/2020.

Pendataan itu dilakukan untuk menjaga perguruan tinggi dari paparan radikalisme dan intoleransi.Hal yang diawasi oleh Kemenristekdikti hanyalah terkait radikalisme dan intoleransi. Terkait aktivitas mahasiswa dalam mengekspresikan diri di media sosial, tidak akan diatur lebih jauh oleh pihak Kemenristekdikti.

Kemenristekdikti berencana bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menjaga kampus dari radikalisme dan intoleransi. Mahasiswa yang terdeteksi melakukan radikalisme atau intoleransi akan diberikan edukasi. Tidak serta-merta dikeluarkan.

Untuk mengupas hal tersebut, Koran Jakarta mewawancarai Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), M Nasir. Berikut rangkuman wawancaranya.

Bisa dijelaskan terkait pendataan kontak maupun medsos para mahasiswa ini untuk menangkal radikalisme ini?

Jadi pertanggungjawaban medsos harus sesuai dengan aturan hukum yang ada di Indonesia. Ini dilakukan di kampus karena saya ingin menangkal radikalisme. Kalau dia ikut demo, katakan di Monas, untuk status medsos silakan. Yang tidak boleh itu ajakan untuk radikal seperti khilafah dan lain sebagainya.

Berarti akan ada pengawasan?

Kami tidak ingin memonitor setiap hari. Kami ingin mendata dulu terhadap medsos dan nomor kontak mereka. Kalau mahasiswa itu di kampus tidak ada masalah tidak kita lacak. Nah kalau misal di salah satu kampus ada kegiatan radikal maka kita lihat medsos dan nomor teleponnya itu baru kita lacak.

Terkait ruang lingkup kebijakan ini seperti apa?

Yang kami atur adalah jangan sampai menyebarkan radikalisme dalam kampus. Intoleransi juga tidak boleh. Kalau terjadi ujaran kebencian, itu bukan urusan saya. Oleh karena itu, harapan saya menggunakan medsos yang bertanggung jawab.

Hukuman atau sanksi jika terjadi radikalisme?

Itu kalau terdeteksi ada radikalisme atau intoleransi akan dipanggil rektor di perguruan tinggi itu lalu diedukasi. Mahasiswanya tidak serta merta dikeluarkan.

Langkah ini apakah mengekang kebebasan di perguruan tinggi?

Kalau di kampus yang namanya mimbar akademik itu harus diberikan ke seluruh pihak untuk mengekspresikan pendapat di dalam kajian akademik. Tapi ada batasannya. Yang namanya bebas itu mimbar akademiknya yang bebas, tidak seperti orang demo.

Kalau kajian paham radikal di dalam ranah akademik di kelas dilakukan secara terbuka ini silakan. Tapi jangan sampai tidak terbuka. Dosen dan pembina mahasiswa juga harus ada di dalamnya. Jangan melakukan gerakan sendiri tanpa ada pendampingan.

Langkah lain untuk mahasiswa baru yang rawan terpapar radikalisme?

Salah satunya adalah kegiatan masa pengenalan kampus diisi dengan kegiatan-kegiatan yang menanamkan wawasan kebangsaan dan kesadaran bela negara. Termasuk pencegahan dan penanggulangan radikalisme. Jangan sampai kampus terjadi radikalisme. Rektor harus bertanggung jawab. Harus dilakukan semua rektor di seluruh Indonesia.

m maarup/P-4

Baca Juga: