Tu Youyou ditugaskan agar menemukan obat untuk penyakit malaria oleh Mao Zedong pada 1969. Lebih dari empat dekade kemudian, penemuannya ini dapat menyelamatkan lebih dari 100ribu nyawa di Afrika. Apa yang tidak biasa dari penemuannya itu adalah Tu mencari tanaman yang biasanya digunakan pada obat-obatan tradisional Tiongkok.
Tu dan kawan-kawannya mulai mencari buku medis kuno Tiongkok sebagai referensi herbal-herbal dan resep yang mungkin digunakan untuk melawan gejala-gelaja malaria seperti demam, ruam, dan sakit kepala. Dari 2 ribu tanaman yang ditemukan, akhirnya terkumpullah 380 tanaman herbal yang diujicoba pada tikus yang diinfeksi oleh parasit malaria. Satu dari tanaman itu yaitu wormwood (Artemisia annua) untuk mengobati demam yang saat diuji coba mampu mengurangi jumlah parasit malaria di dalam darah.
Tu bersama timnya pun mulai menggunakan cairan pelarut untuk memisahkan senyawa-senyawa dari wormwood. Mereka mencoba senyawa ini satu persatu untuk melawan parasit malaria yang diinfeksikan pada tikus. Akhirnya ditemukan satu kandungan bernama artemisin pada wormwood yang secara unik dapat memproduksi sebuah senyawa yang membunuh parasit-parasit tersebut.
Penemuan artemisinin ini berperan cukup besar dalam dunia medis. Di mana metode pengobatan malaria bisa memiliki alternatif yang lain. Pada 2013, disebut 392 juta orang di seluruh dunia mengonsumsi obat-obatan ketika terjangkit malaria. Khususnya negara di mana penyakit ini menjadi endemik. Jika parasit malaria itu kebal pada obat-obatan yang diberikan, maka akan meningkat kematian di Afrika sebagai negara yang paling banyak memiliki kasus malaria.
Untuk mencegah terjadinya hal ini, para dokter pun telah mencoba mengurangi penggunaan artemisin dengan mengombinasikannya dengan obat-obatan lain sehingga membunuh parasit dengan cara yang berbeda. Seperti penggunaan artemisin yang dikombinasikan dengan terapi untuk pengobatan malaria yang belum ada implikasi dengan organ dalam, yang biasanya disebabkan oleh parasit Plasmodium falciparum. Hanya beberapa jenis malaria saja yang diperbolehkan mendapatkan dosis penuh pada artemisinin.
Uji Coba secara Ekstensif
Peneliti telah memodifikasi kesinambungan genetik tanaman untuk dapat memproduksi lebih banyak obat untuk malaria agar dapat memenuhi kebutuhan pasar dunia. Tim peneliti ini mengidentifikasi gen yang membentuk artemisinin yang dapat memproduksi tiga kali lipat dari artemisinin biasanya. Produksi yang melibatkan tanaman tradisional disebut gagal memenuhi kebutuhan itu. Karena daun-daunan itu kurang memproduksi senyawa yang dibutuhkan tersebut.
"Hampir separuh dari populasi dunia berisiko terjangkit penyakit malaria," kata Kexuan Tang, penulis jurnal Molecular Plant dari Universitas Shanghai Jiao Tong.
Maka dari itu, ia dan timnya pun memiliki strategi untuk melakukan produksi artemisinin dalam skala besar untuk memenuhi kebutuhan dunia dan dapat membantu masalah kesehatan di dunia.
Badan kesehatan dunia (WHO) mengatakan malaria menjangkit sekitar 216 juta orang dari 91 negara di dunia pada 2016. Dan diestimasi 445 ribu orangnya meninggal karena itu. "Artemisia annua adalah sumber tunggal yang WHO rekomendasikan untuk mengobati malaria," ujar Professor Ian Graham dari Universitas York.
Dikarenakan hal itu, jika parasit tersebut menjadi kebal dengan kandungan artemisinin yang dimiliki artemisia annua, maka peneliti harus menemukan senyawa lain yang dapat menjadi sumber alternatif untuk penyembuhan malaria. Atau dengan melakukan upaya pencegahan agar parasit tersebut tidak menjadi kebal.
Artemisia annua mengandung 63,226 gen protein yang dapat dikatakan sebagai salah satu tanaman paling banyak mengandung protein dibandingkan dengan tanaman lainnya. Bahkan membutuhkan waktu beberapa tahun untuk sebuah tim peneliti menyelesaikan kandungan apa saja yang dimiliki oleh tanaman tersebut, karena ukuran dan kompleksitasnya.
Sebelumnya, misi untuk meningkatkan produksi artemisinin sempat mengalami absensi yang panjang karena referensi genetik dan terbatasnya informasi mengenai genetik artemisinin dalam regulasi obat-obatan buatan.
Tapi dengan meningkatkan rangsangan dari ketiga gen secara serentak yaitu HMGR, FPS, dan DBR2, para peneliti menemukan bahwa Artemisia annua dapat memproduksi lebih tingkat artemisinin, sekitar 3,2 persen.
Padahal umumnya, tanaman ini hanya mampu memproduksi sekitat 0,1 hingga 1,0 persen saja. Menanggapi penelitian ini, Profesor Graham mengatakan ini merupakan suatu pencapaian yang bagus dengan membangun dengan melibatkan pengembangbiakan molekular dan teknik genetik.
"Sebelum dapat berdampak produksi komersil, mereka harus melakukan ujicoba secara ekstensif bagaimana tanaman tersebut dapat bekerja dan menempatkannya dalam kondisi-kondisi eksperimental," tuturnya.
Dr Tang dan timnya telah mengirim bibit-bibit kaya artemisinin ke Pulau Madagascar, yang notabene wilayah paling banyak tumbuh tanaman ini sebagai lahan percobaan. Namun tidak hanya berhenti di situ, peneliti juga masih terus melanjutkan penelitian bagaimana meningkatkan produksi artemisinin. Yaitu dengan tujuan dapat meningkat sekitar 5 persen artemisinin pada setiap daunnya.
"Kami harap penelitian ini dapat meningkatkan pasokan dan kebutuhan dunia akan artemisinin dan mampu menurunkan harga tanaman tersebut," kata Dr. Tang.
Karena menurutnya tidak membutuhkan banyak biaya untuk menggenerasi artemisinin. Ia melakukan ratusan propaganda pada tanaman penghasil artemisinin tersebut dengan memotong dan menyeleksinya. "Kami harapkan tanaman tinggi artemisinin transgenik ini akan tumbuh secara besar-besaran tahun depan," harapnya.
Meskipun begitu, penelitian ini harus mendapatkan izin yang jelas untuk tanaman tersebut tumbuh di daerah selain di Tiongkok atau negara lainnya.
"Menurut International Service for Acquisition of Agri-Biotech Applications, belum ada GM Artemisia annua (Artemisia annua buatan) yang disetujui di seluruh dunia, dan ini akan menjadi tantangan yang menarik," kata Professor Graham.
Karena tanaman ini tumbuh di Tiongkok dan merupakan tanaman yang paling terkenal dari obat-obatan tradisional Tiongkok. gma/R-1