Kematian Ratu Elizabeth II mengundang perasaan yang rumit, termasuk kemarahan bagi sebagian orang di Afrika, Asia, Karibia, dan di tempat lain.

Pembicaraan telah beralih dari belasungkawa ke warisan kolonialisme, perbudakan, hingga artefak jarahan yang disimpan lembaga-lembaga Inggris. Bagi banyak orang, sosok Ratu Elizabeth II mewakili semua masa kelam itu selama tujuh dekade bertakhta.

Kemarahan datang dari orang-orang biasa. Beberapa menyerukan permintaan maaf atas pelanggaran masa lalu seperti perbudakan, yang lain untuk sesuatu yang lebih nyata.

"Persemakmuran negara-negara ini, kekayaan itu milik Inggris. Kekayaan itu adalah sesuatu yang tidak pernah dibagi," kata Bert Samuels, anggota Dewan Nasional Reparasi di Jamaika.

Seorang pengacara, Alice Mugo mengaku tidak bisa mengirimkan belasungkawanya atas kematian sang Ratu. Ia mengingat kembali pemerintahan sang Ratu yang disebutnya semena-mena terhadap pemberontak Mau Mau yang menuntut tanah mereka dan mengakhiri pemerintahan kolonial.

Mengutip BBC, lebih dari 5.000 warga Kenya mengatakan mereka diperlakukan buruk, termasuk mendapatkan penyiksaan oleh pemerintah Inggris pada 1950-an.

Sementara The Associated Press melaporkan lebih dari 100.000 orang Kenya ditahan di kamp-kamp dalam kondisi yang suram, yang lain, seperti nenek Mugo, terpaksa meminta izin Inggris untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain.

"Sebagian besar kakek-nenek kami tertindas," cuit Mugo beberapa jam setelah kematian ratu pada Kamis.

"Aku tidak bisa berduka," ujarnya.

Mengutip AP, beberapa sejarawan melihat sang Ratu sebagai sosok pemimpin yang membantu mengawasi transisi yang sebagian besar damai dari kekaisaran ke Persemakmuran, sebuah asosiasi sukarela dari 56 negara dengan ikatan sejarah dan bahasa. Sementara bagi yang lain, Elizabeth II juga lambang negara yang sering bertindak kasar terhadap orang-orang yang ditaklukkannya.

Di Timur Tengah, banyak yang masih menganggap Inggris bertanggung jawab atas tindakan kolonial yang menarik sebagian besar perbatasan kawasan dan meletakkan dasar bagi banyak konflik modern. Pada hari Sabtu, penguasa Hamas Gaza meminta Raja baru Inggris, Raja Charles III untuk "memperbaiki" keputusan mandat Inggris yang mereka katakan menindas warga Palestina.

Di Siprus yang terbagi secara etnis, banyak orang Siprus Yunani mengingat kampanye gerilya empat tahun yang dilakukan pada akhir 1950-an melawan pemerintahan kolonial dan ketidakpedulian Ratu atas penderitaan sembilan orang yang dieksekusi oleh otoritas Inggris dengan cara digantung.

Yiannis Spanos, presiden Asosiasi Organisasi Nasional Pejuang Siprus, mengatakan ratu "dianggap oleh banyak orang sebagai penanggung jawab" atas tragedi pulau itu.

Kini, dengan kepergiannya, AP melaporkan banyak mantan negara Persemakmuran yang mencoba untuk mengatasi masa lalu kolonial, atau menyembunyikannya.

India misalnya, di bawah Perdana Menteri Narendra Modi mereka berupaya menghapus nama dan simbol kolonial Inggris.

"Saya tidak berpikir kita memiliki tempat untuk raja dan ratu di dunia saat ini, karena kita adalah negara demokrasi terbesar di dunia," kata Dhiren Singh, seorang pengusaha di New Delhi.

AP turut menemukan pandangan serupa di Karibia, di mana beberapa negara mencopot raja Inggris sebagai kepala negara mereka.

"Satu-satunya hal yang saya perhatikan tentang kematian ratu adalah dia meninggal dan tidak pernah meminta maaf atas perbudakan," kata Nadeen Spence, seorang aktivis.

Walau begitu, banyak yang menganggap Ratu Elizabeth II berada dalam keadaan di mana dia dilahirkan dan kemudian dipaksa hidup di dalamnya.

Di ibu kota Kenya, Nairobi, penduduk Max Kahindi mengingat pemberontakan Mau Mau "dengan banyak kepahitan" dan mengingat bagaimana beberapa orang tua ditahan atau dibunuh. Tapi dia mengatakan ratu adalah "seorang wanita yang sangat muda" saat itu, dan dia yakin ada orang lain yang menjalankan urusan Inggris.

"Kami tidak bisa menyalahkan ratu atas semua penderitaan yang kami alami saat itu," kata Kahindi.

Timothy Kalyegira, seorang analis politik di Uganda, mengatakan ada "hubungan spiritual" yang masih ada di beberapa negara Afrika, dari pengalaman kolonial hingga Persemakmuran.

Ia menilai kepribadian Ratu yang bermartabat, dan sentralitas bahasa Inggris dalam urusan global, cukup kuat untuk meredam beberapa kritik, Kalyegira menambahkan: "Dia lebih terlihat sebagai ibu dunia."

Baca Juga: