Setelah muncul Covid-19 varian Alpha dan Delta, kini dunia menghadapi varian baru virus Corona yang diberi nama varian Mu atau B.1.621. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan varian baru ini ke dalam daftar variant of interest (VOI) bersama dengan beberapa varian lainnya.

Varian Mu pertama kali diidentifikasi di Kolombia pada Januari 2021. Sejak itu, varian ini menyebar diAmerika Latin, Eropa, dan Amerika Serikat (AS).

WHO khawatir varian ini dapat membuat vaksin dan perawatan menjadi kurang efektif, meskipun masih diperlukan lebih banyak bukti.

Para ilmuwan masih terus memantau varian Covid-19 dan mencari bukti untuk menentukan apakah versi baru lebih menular atau menyebabkan penyakit yang lebih parah.

Dikutip dari Seattle Times pada Kamis (9/9), varian Mu terlihat tidak menyebar dengan cepat. Varian MU menyumbang kurang dari satu persen kasus Covid-19 secara global.

Varian MU bertanggung jawab untuk sekitar 39 persen kasus di Kolombia. Walaupun hanya menyumbang satu persen kasus Covid-19 di dunia, sebagian besar negara tetap khawatir tentang varian ini.

Pejabat berwenang telah melacak keberadaan varian Mu di sejumlah negara Eropa, Kementerian Kesehatan Prancis baru-baru ini mengatakan varian Mu tampaknya tidak meningkat di seluruh Eropa.

Menurut laporan dari badan kesehatan masyarakat Inggris memperkirakan varian Mu mungkin sama resistensinya terhadap vaksin, seperti varian Beta yang pertama kali terlihat di Afrika Selatan. Namun, badan itu menekankan harus lebih banyak data lagi diperlukan untuk membuktikannya.

Pejabat WHO menegaskan varian Mu meningkat di beberapa negara di Amerika Latin, tetapi varian Delta masih menyebar jauh lebih mudah.

"Varian Mu menarik bagi kami karena kombinasi mutasi yang dimilikinya," kata perwakilan dari WHO, Maria Van Kerkhove.

Pakar penyakit menular terkemuka AS, Anthony Fauci, mengatakan AS masih memantau varian Mu tetapi tidak menganggapnya sebagai ancaman langsung.

Laporan epidemiologi WHO menyatakan data awal menunjukkan varian Mu tampaknya lebih resisten terhadap antibodi.

Griffin mengatakan tes laboratorium tidak memberikan gambaran lengkap tentang bagaimana kekebalan manusia bekerja di dunia nyata.

"Studi penetralisir itu sangat berguna karena cukup mudah dilakukan dan cukup cepat, tetapi itu adalah bagian dari cerita, bukan keseluruhan cerita, kita perlu melihatnya secara klinis, jadi di dunia nyata, kita melihat perubahan sifat yang berarti vaksin benar-benar kehilangan efikasinya," kata Griffin.

WHO juga menjelaskan hal ini perlu diselidiki lebih lanjut dan mengatakan varian Mu seharusnya tidak menjadi perhatian besar masyarakat.

Baca Juga: