JAKARTA -Siapa yang tidak kenal dengan M Jusuf, jenderal yang dikenal dekat dengan para prajurit. Jenderal M Jusuf dikenal publik, selain sebagai Panglima TNI yang dekat dengan para prajuritnya, juga dikenal sebagai salah satu dari tiga jenderal yang menghadap Presiden Soekarno hingga kemudian lahirlah Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar.

Supersemar itulah yang kemudian digunakan Letjen Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat ketika itu sebagai dasar untuk membubarkan PKI. Kala itu gejolak politik tengah memanas pasca gerakan 30 September yang berujung pada penculikan enam jenderal pimpinan teras Angkatan Darat dan satu perwira menengah.

Enam jenderal pimpinan TNI AD dan satu perwira menengah yang merupakan ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution itu kemudian dibunuh. Jenazah ketujuh perwira itu dimasukkan ke sebuah sumur tua yang ada di wilayah Lubang Buaya, dekat Pangkalan Halim Perdanakusuma.

Pasca peristiwa itu, kemelut politik terjadi. Tuntutan pembubaran PKI yang dituding jadi dalang dibalik gerakan 30 September terus membesar. Demonstrasi pun digelar besar-besaran di sekitar Istana.

Sampai kemudian saat sedang memimpin rapat kabinet di Istana Negara, Presiden Soekarno mendapat laporan dari Komandan Cakrabirawa, pasukan pengawalnya, Brigjen Sabur, bahwa ada sekelompok tentara tanpa tanda pengenal ada di dekat Istana bersama para demonstran.

Tak mau ambil risiko, Presiden Soekarno pun lantas mengakhiri rapatkabinet. Lalu terbang ke Istana Bogor dengan helikopter.Ketika itu, Jenderal M Jusuf sedang menjabat sebagai Menteri Perindustrian di kabinet Soekarno.Ia hadir di rapat kabinet yang diberhentikan mendadak.

Jenderal TNI AD yang juga hadir di rapat itu adalah Mayjen Amir Machmud dan Mayjen Basuki Rachmat. Amir Machmud kala itu sedang memegang posisi sebagai Pangdam Jaya. Sementara Basuki Rachmat, menjabat sebagai menteri urusan veteran.

Setelah Soekarno pergi ke Istana Bogor, tiga jenderal itu lantas berembuk bersama dengan Mayjen Moersjid, Menko Pertahanan kala itu yang juga hadir di rapat kabinet. Akhirnya disepakati untuk menyusul Bung Karno ke Istana Bogor. Sebelum berangkat ke Bogor, ketiga jenderal itu terlebih dahulu menghadap Letjen Soeharto di kediamannya.

Letjen Soeharto sendiri kala itu tak bisa hadir di rapat kabinet karena sedang sakit. Di rumah Letjen Soeharto, ketiga jenderal itu berembug sebelum berangkat ke Istana Bogor. Sebelum pergi, Letjen Soeharto menitip pesan untuk disampaikan kepada Presiden Soekarno, bahwa ia sanggup memulihkan keamanan dan ketertiban asal diberi surat perintah secara tertulis dari Presiden.

Tiga jenderal yakni M Jusuf,Amir Machmud, dan Basuki Rachmat pun berangkat ke Istana Bogor sembari membawa pesan dari Letjen Soeharto. Sampai di Istana Bogor, setelah diterima Soekarno, ketiga jenderal itu berembuk soal surat perintah seperti yang pesan Letjen Soeharto. Sejarah pun mencatat, Surat Perintah 11 Maret pun akhirnya keluar.

Sejarah juga mencatat, surat perintah 11 Maret itu seperti surat sakti bagi Letjen Soeharto. Karena dengan bekal surat itu, Letjen Soeharto lalu melakukan langkah berani, membubarkan dan PKI dan menangkap sejumlah menteri yang dituduh terlibat atau punya kaitan dengan gerakan 30 September dan partai komunis tersebut.

Meski Soekarno belakangan tak setuju dengan langkah Letjen Soeharto, tapi jenderal pengganti Ahmad Yani itu tetap jalan terus. Kekuasaan Soekarno pun kian tergerus. Sampai kemudian Soeharto naik tampuk jadi Presiden menggantikan Soekarno.

Keberadaan Supersemar yang asli pun simpang siur. Kabarnya, M Jusuf yang kelak diangkat Soeharto sebagai Panglima TNI menyimpan salinannya. Nah soal salinan Supersemar ini ada satu cerita menarik.

Satu waktu, M Jusuf berencana membuat buku memoar. Publik pun berharap, dalam buku itu M Jusuf bisa mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di balik keluarnya Supersemar. Awalnya, Soeharto setuju dengan niat M Jusuf menerbitkan buku memoarnya sendiri.

Tapi belakangan, Soeharto menyarankan kepada M Jusuf agar buku memoar itu sebaiknya disusun dan dipublikasikan oleh Sekretariat Negara. Tapi saran itu ditolak M Jusuf. Hingga kini, naskah asli Supersemar pun tetap jadi misteri.

Sementara tiga jenderal yang merupakan saksi hidup dari terbitnya Supersemar itu telah meninggal semuanya. Termasuk Jenderal M Jusuf yang meninggal pada 8 September 2004 di Makassar, Sulawesi Selatan.

Baca Juga: