Perdebatan mengenai ambang batas syarat pencapresan belum menemui titik temu. Jika buntu, bisa digunakan syarat pada Pilpres 2014.
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu ditargetkan bisa disahkan pada awal bulan Juli ini.
Meski begitu, masih ada beberapa isu krusial yang juga belum disepakati. Salah satunya terkait dengan presidential treshold. Sikap dan posisi politik pemerintah tak berubah, tetap ingin ambang batas pencapresan diberlakukan.
"Pasal 6 A Ayat (2) UUD 1945 disebutkan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu," kata Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, di Jakarta, Jumat (30/6).
Jadi, kata dia, konstitusi jelas menyebutkan bahwa pengusul calon presiden dan wakil presiden adalah partai atau gabungan partai.
Kuantitas besaran partai politik atau gabungan partai memang tidak diatur secara jelas di dalam konstitusi. Pengaturan terkait partai atau gabungan partai yang mempunyai hak mengusulkan presiden dan wakil presiden merupakan kewenangan dari pembuat undang-undang, dalam hal ini adalah Presiden dan DPR RI. "Artinya, ini opened legal policy," ujarnya.
Tjahjo juga menjelaskan bahwa presidential threshold dalam RUU Pemilu sama dengan UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres. Ketentuannya tak ada yang diubah, di mana syarat yang diberlakukan yakni 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional.
Hal senada juga diterapkan pada pemilihan kepala daerah.
Pasal 40 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan partai atau gabungan partai dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah bersangkutan.
Dalam UUD 1945 Pasal 28 J Ayat (2) juga dinyatakan pembatasan yang ditetapkan dalam UU adalah konstitusional, sepanjang nilai kebaikannya lebih besar ketimbang keburukannya untuk kepentingan bangsa dan negara.
"Bahwa pembangunan politik negara harus konsisten menuju pada penyederhanaan, baik dalam parpolnya maupun dalam pemilunya, agar politik negara ini akan semakin baik maka harus ada konsistensi," tuturnya.
Atas dasar itu pula, kata Tjahjo, pemerintah ingin pengaturan yang dulu sudah diterapkan, yakni 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional dapat dipertahankan.
Alasannya sudah teruji. Pada pemilu 2009 dan 2014, syarat itu juga diberlakukan dan memunculkan lebih dari satu pasangan capres dan cawapres. Ditegaskan pula, Presidential threshold tidak bertentangan dengan konstitusi.
"Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 tidak membatalkan Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres," ujarnya.
Masih Bisa Berlaku
Dengan begitu, lanjut Tjahjo, pemberlakuan ketentuan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional masih sah berlaku.
Dan dalam Draf RUU tidak menambah dan tidak mengurangi isi Pasal 9 UU No 42/2008 yang tidak dibatalkan MK tersebut. Jadi, tidak benar jika dikatakan bertentangan dengan konstitusi.
Memang benar, kata Tjahjo, tahun 2019 Pilpres dengan Pileg digelar serentak. Namun demikian, hanya ada satu pemilu yang ada sebelum pemilu 2019, yaitu Pemilu 2014.
Dengan demikian, logika kedaluwarsa kondisi politik lima tahun sebelumnya tidak tepat. Karena memang tidak ada pemilu lain selain Pemilu 2014 yang bisa dijadikan dasar rujukan presidential threshold.
"Presidential Threshold memastikan pasangan presiden dan wakil presiden yang akan terpilih telah memiliki dukungan minimum partai atau gabungan partai di parlemen," kata Tjahjo.
Dengan dukungan itu, kata dia, setidaknya dapat mendukung efektivitas jalannya pemerintahan.
Selain itu juga, ini untuk mendorong partai melakukan koalisi di awal atau sebelum pemilu. Dengan begitu, koalisi yang terbentuk diharapkan merupakan koalisi yang didasarkan pada kesamaan visi, misi, dan program. Bukan kebutuhan pragmatis saja sehingga koalisi lebih bersifat permanen. ags/AR-3