Tahun politik 2018 ini, situasi sosial dan politik di Tanah Air terasa sangat dinamis. Bukan saja proses Pilkada serentak yang sudah memasuki masa pendaftaran dan proses lanjutnnya, tetapi masalah setelah Pilkada serentak pun sudah mulai dibahas, paling tidak sudah mulai diulas bagaimana pemilihan presiden 2019 yang nanti akan digabung atau serentak dengan pemilihan anggota parlemen di pusat dan daerah serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Banyak pengamat, analis, dan perkiraan kalangan politisi yang memprediksi figur-figur yang tampil sebagai calon presiden mendatang. Kebanyakan masih berkesimpulan bahwa yang akan maju dalam pemilihan presiden nanti, masih sama dengan tokoh yang bertarung di tahun 2014 yakni Joko Widodo (Jokowi) dengan Prabowo Subianto. Kesimpulan itu, paling tidak sampai saat ini relatif tepat, karena belum ada sosok yang mampu mengimbangi kedua tokoh tersebut. Meski demikian, dalam politik itu sering tak bisa diprediksi. Mungkin saja menjelang pemilihan nanti, akan muncul figur-figur baru yang bisa tampil.

Namun, siapa yang bakal tampil sebagai calon presiden 2019 -baik Jokowi maupun Prabowo- dan figur lain, tidak akan lepas dari kendaraan politik yaitu partai pengusung. Nah, dalam kontek partai pengusung itulah, dalam beberapa hari ke depan, publik, khususnya kalangan politik membirakan lagi apa yang disebut ambang batas parlemen atau presidential threshold. Jadi, presidential threshold adalah ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk pengajuan presiden atau wakil presiden. Polemik soal ini cukup relevan, pasalnya, baru saja Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (11/1) memutuskan menolak uji materi atas Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang ketentuan presidential treshold. Pada gugatan lain yang diajukan bersamaan mantan anggota KPU, Hadar Nafis Gumay, pakar komunikasi Effendi Gazali dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), MK menerima atau memutuskan bahwa partai peserta Pemilu 2014 juga harus dilakukan verifikasi faktual seperti partai-partai baru yang akan ikut Pemilu 2019.

Keputusan MK yang menolak melakukan uji materi soal presidential treshold ini artinya, syarat untuk maju dalam pertarungan pilpres 2019 nanti sama dengan pilpres 2014 meskipun pelaksanaannya dilakukan serentak dengan pemilu legislatif yakni parpol atau gabungan parpol yang ingin mencalonkan presiden dan wakil presiden harus memiliki minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional di pemilu sebelumnya. Dalam pemilu 2014, terdapat 12 partai peserta pemilu tapi yang lolos ke parlemen hanya 10 partai. Meski pada Pemilu serentak 2019 ada tambahan beberapa partai, tetapi kita belum bisa memperkirakan berapa persis partai peserta pemilu dan berapa banyak partai yang lolos ke parlemen. Namun, dari sebaran pemilih dan basis konstituen dari partai peserta pemilu serentak 2019 tidak akan berbeda jauh dari pemilu 2014. Dengan melihat latar belakang dan kondisi saat ini, maka dengan aturan ambang batas presiden yang tidak berubah, tidak akan banyak pasangan calon presiden-wakil presiden yang bisa maju bertarung.

Dengan syarat 20 persen kursi parlemen atau 25 persen perolehan suara, maka koalisi partai tidak bisa dihindari. Hanya partai yang berkoalisi dengan total jumlah 20 persen itulah yang bisa mengajukan, kita perkirakan hanya akan ada dua pasangan calon presiden-wakil presiden yang akan maju. Karena itu pilkada serentak 2018 ini menjadi ajang untuk ancang-ancang menjalin koalisi di pilres 2019. Dalam konteks putusan MK dan keinginan untuk mencari figur pemimpin yang benar-benar sudah tersaring dan didukung partai pengusung, kita mengapresiasi keputusan MK. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jaidnya apabila syarat untuk maju sebagai calon presiden diperingan, maka hasrat partai untuk mencalonkan tokohnya semakin tinggi. Jika calon presiden terlalu banyak, maka bukan saja akan menyulitkan masyarakat dalam memilih pemimpinnya, tetapi mengesankan mudahnya orang mencalonkan diri sebagai capres.

Baca Juga: