Iga Swiatek mewujudkan impiannya dengan merengkuh gelar US Open, melengkapi dua gelar Grand Slam sebelumnya, Prancis Open 2020 dan 2022.

NEW YORK - Iga Swiatek meraih gelar Grand Slam ketiga dalam kariernya dan kemenangan perdananya di US Open. Petenis asal Polandia itu mengalahkan petenis Tunisia, Ons Jabeur, dua set langsung, Minggu (11/9) pagi WIB, sekaligus memperpanjang kemenangan beruntunnya.

Petenis nomor satu dunia berusia 21 tahun itu mengalahkan Jabeur 6-2, 7-6 (7/5) dalam waktu 1 jam 52 menit di Arthur Ashe Stadium. Kemenangan itu merupakan gelar Grand Slam kedua Swiatek pada 2022. Sebelumnya, dia meraih gelar di Prancis Open pada Juni lalu dan kemenangan Grand Slam perdananya di Roland Garros pada 2020.

Sukses kali ini bagi Swiatek merupakan kemenangan ke-10 secara beruntun di laga final. Dia tidak terkalahkan di final sejak mengalami kekalahan pada final turnamen WTA pertamanya di Lugano tiga tahun lalu.

Swiatek terduduk di lapangan dengan lega setelah kemenangan yang membuatnya mengantongi hadiah uang sebesar 2,6 juta juta dollar AS (38 miliar rupiah). "Saya tidak yakin apakah saya berada di level yang sebenarnya untuk memenangkan Grand Slam, terutama di US Open di mana bola di permukaannya begitu cepat," ujarnya. "Itu adalah sesuatu yang tidak saya duga pasti. Ini juga seperti konfirmasi bagi saya bahwa langit adalah batasnya," sambungnya.

Namun, kekalahan itu merupakan kegagalan lain yang menyakitkan bagi Jabeur, yang telah berusaha untuk menjadi wanita pertama dari Afrika yang memenangkan gelar Grand Slam. Petenis berusia 28 tahun asal Tunisia itu juga dikalahkan pada final Wimbledon Juli lalu. "Saya tidak perlu menyesal karena saya melakukan segala kemungkinan," ujar Jabeur.

"Saya bukan seseorang yang akan menyerah. Saya yakin saya akan berada di final lagi dan saya akan mencoba yang terbaik untuk memenangkannya," sambungnya.

Kemenangan kali ini memberikan banyak bukti bahwa Swiatek adalah yang terdepan untuk mendominasi tenis wanita dunia saat menuju ke era pasca-Serena Williams.

Swiatek, yang lapangan favoritnya adalah tanah liat, mengatakan fakta bahwa dia bisa menang di New York akan menjadi titik balik psikologis untuk permainannya. "Pada awal musim saya menyadari bahwa mungkin saya bisa mendapatkan hasil yang bagus di event WTA. Saya juga berhasil mencapai semifinal Australia Open," jelasnya.

"Saya sangat bangga dengan fakta bahwa secara mental saya tidak putus asa pada saat-saat penting," sambungnya. "Saya bangga bahwa saya memiliki lebih banyak solusi dan pilihan di lapangan daripada sebelumnya dalam hal tenis, tapi ya, juga secara mental," tandasnya.

Di sisi lain, Jabeur menegaskan dia bertekad merebut peringkat nomor satu dunia dari Swiatek tahun depan. Swiatek tetap nyaman di peringkat teratas dengan poin dua kali lebih banyak. "Dari segi poin, saya tidak memiliki poin bagus di Australia, di Prancis Open, tapi di Wimbledon, itu bagus. Kali ini juga bagus. Saya pasti akan memperebutkan posisi No 1," ujar Jabeur.

Jabeur, yang terlambat dalam kariernya karena masih berada di luar 30 besar pada akhir tahun 2020, yakin bahwa sejarah menunjukkan bahwa waktu tetap berpihak padanya dalam hal masa depannya di Grand Slam.

Butuh waktu sampai dia berusia 26 tahun untuk merebut gelar WTA perdananya pada tahun 2021 di Birmingham dan kemudian menambahkan trofi Madrid dan Berlin tahun ini.

Tatap Peringkat Satu Dunia

Sementara itu, Carlos Alcaraz berada di jalur menorehkan sejarah. Jika berhasil merebut gelar US Open, dia menjadi petenis putra termuda yang menempati posisi nomor satu dunia. "Saya tidak takut dengan momen itu," ujar Alcaraz, finalis termuda di Grand Slam sejak rekan senegaranya Rafael Nadal memenangkan Prancis Open pada 2005.

Dalam gelaran US Open tahun ini, Novak Djokovic dan Roger Federer gagal berpartisipasi, sementara pemenang empat kali Nadal tersingkir di babak 16 besar. Situasi itu memberi Alcaraz berkesempatan untuk berkembang, melaju menuju gelar. Sukses melaju ke final membuatnya mencatatkan kemenangan ke-50 sepanjang tahun 2022.

"Saya telah mempersiapkan diri secara mental dan fisik untuk berjuang untuk hal-hal besar," ujar Alcaraz, finalis termuda di New York sejak Pete Sampras pada 1990. "Saya selalu bermimpi menjadi nomor satu," sambungnya.

Di sisi lain, Casper Ruud yang menjadi lawan Alcaraz di final juga berpeluang menjadi petenis nomor satu dunia. Petenis berusia 23 tahun itu akan menjadi nomor satu jika dia menjadi orang Norwegia pertama yang memenangkan gelar Grand Slam.

Perjalanan Ruud ke final terbantu karena unggulan teratas dan juara bertahan Daniil Medvedev tersingkir di babak 16 besar dan peringkat kelima Stefanos Tsitsipas tersingkir di babak pertama. Keduanya berada di paruh babak undian Ruud. ben/AFP/S-2

Baca Juga: