JAKARTA - Definisi swasembada beras bukan hanya soal produksi, tetapi juga aksesibilitas dan stabilitas pangan itu bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, diperlukan evaluasi lebih lanjut terhadap kebijakan anggaran pertanian yang diusulkan.
"Penggunaan anggaran harus efektif dan tepat sasaran untuk benar-benar memberikan dampak nyata bagi petani," kata Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono, kepada Koran Jakarta, Rabu (28/8).
Dwijono mengatakan meskipun ada capaian positif dalam produksi beras, perbandingan langsung antara era Presiden Soeharto dan Joko Widodo (Jokowi) tidak sepenuhnya tepat. Konteks sejarah dan tantangan yang dihadapi sangat berbeda. Tidak bisa diukur kesuksesan hanya dari angka produksi.
Selain itu, meski penghargaan Agricola Medal dari Badan Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) adalah prestasi yang membanggakan, Dwijono mengingatkan bahwa hal tersebut harus diimbangi dengan kondisi riil di lapangan. "Penghargaan itu baik, tetapi mari kita lihat bagaimana ketahanan pangan dan kesejahteraan petani kita sebenarnya," tutur Dwijono.
Dwijono ini menanggapi apa yang disampaikan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman. Mentan mengomparasi capaian swasembada pangan di era Presiden Jokowi dan pencapaian di era Presiden Soeharto, yang sama-sama luar biasa dan mampu memenuhi kecukupan pangan rakyat.
"Swasembada di era pemerintahan sekarang (Presiden Jokowi) itu tiga kali 2017-2019 dan 2020 dan itu tidak ada impor beras medium dengan perbandingan penduduknya 200 juta (jiwa). Artinya apa? Upaya kita luar biasa kalau kita mau mengomparasi dengan tahun 1984. Saya kira kebijakan pangan Pak Harto hebat dan pemerintahan sekarang juga hebat," ujar Mentan dalam keterangan di Jakarta, Selasa (20/8).
Definisi Swasembada
Mentan merujuk pada definisi swasembada yang digunakan oleh FAO. Berdasarkan ketetapan FAO pada 1999, suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional.
Seperti dikutip dari Antara, Mentan mencontohkan swasembada tahun 1984 impornya 400 ribu ton dengan komparasi penduduk mencapai 100 juta lebih.
Capaian swasembada beras terjadi pada periode pertama Presiden Jokowi yaitu pada tahun 2017-2020. Saat itu, produksi beras bisa surplus 1,9 juta ton hingga 2,85 juta ton.
Selama pemerintahan Presiden Jokowi, kebijakan anggaran untuk sektor pangan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan petani, baik dalam bentuk sarana pertanian seperti benih dan pupuk, maupun intensifikasi dan mekanisasi dengan penggiatan pemberian bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan). Kebijakan pemerintah di sektor pertanian tersebut membuat Kementan berhasil mendapat predikat WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Tahun 2016 pertama dalam sejarah pertanian dan itu di era kami dengan teman-teman ini semua mendapat WTP secara berturut-turut hingga tahun berikutnya," ujar Mentan.
Oleh karena itu, Mentan meminta agar ke depan mendapat tambahan anggaran untuk mengakselerasi berbagai program guna mewujudkan swasembada dan juga limbung pangan dunia.
Adapun anggaran tambahan yang diusulkan mencapai kurang lebih 68 triliun rupiah akan digunakan untuk pengairan, pupuk, benih sampai prasarana lainnya.
"Jadi anggaran 68 triliun rupiah ini bukan berdiri sendiri, tapi betul-betul holistik dari air sampai pupuk akan kita perhatikan termasuk juga pompa," kata Mentan.
Sebelumnya, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, mengatakan Presiden Jokowi diagendakan menerima penghargaan Agricola Medal dari FAO. "FAO akan memberikan penghargaan Agricola Medal ke Presiden Joko Widodo dalam waktu dekat ini," kata Arief.
Arief menyampaikan Agricola Medal merupakan pemberian penghargaan kepada pimpinan negara dalam hal ini presiden sebagai bentuk apresiasi terhadap ketahanan pangan Indonesia.
Penghargaan itu, lanjut Arief, diagendakan bakal diserahkan FAO kepada Presiden Joko Widodo, pada 30 Agustus 2024. Penghargaan dari FAO terakhir diberikan ke Indonesia pada 39 tahun lalu, yakni kepada Presiden Soeharto.
"Nah, kita patut berbangga karena Agricola Medal ini diberikan karena Presiden Jokowi tentunya bersama seluruh jajarannya, konsisten memerangi kelaparan dan kemiskinan serta penguatan ketahanan pangan dan gizi masyarakat," lanjutnya.
Lebih lanjut, Arief mengatakan Agricola Medal merupakan pengakuan FAO atas kontribusi dan komitmen kepada tokoh-tokoh atau kepala negara yang dinilai memiliki upaya besar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan dukungan luar biasa pada tujuan mendasar FAO dalam mencapai ketahanan pangan universal.