Situasi krisis di Myanmar membuat pemimpin de facto Aung San Suu Kyi memutuskan untuk tak menghadiri sidang umum Perserikatan Bangsa- Bangsa dan memilih untuk mengendalikan keamanan dan mencegah menyebarnya konflik komunal.
YANGON - Pemimpin nasional Myanmar yang juga peraih anugerah Nobel bidang perdamaian pada 1991, Aung San Suu Kyi, tidak akan menghadiri pertemuan sidang umum PBB. Krisis etnis di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, menjadi alasan ketidakhadirannya.
"Dia sedang mencoba mengendalikan situasi keamanan, perdamaian internal, dan stabilitas serta berupaya mencegah menyebarnya konflik komunal," kata Zaw Htay, juru bicara Suu Kyi, Rabu (13/9).
Lebih lanjut dalam keterangan tertulis, Zaw mengatakan Suu Kyi tidak akan menghadiri sidang umum PBB karena adanya risiko krisis ancaman keamanan yang muncul dari para pemberontak serta upayanya yang sedang memulihkan stabilitas.
Keputusan Suu Kyi untuk absen dalam sidang umum PBB telah memicu banyak spekulasi. Pasalnya, Suu Kyi saat ini sedang menghadapi tekanan dunia internasional agar segera mengakhiri konflik kekerasan di wilayah barat Negara Bagian Rakhine yang meletup pada 25 Agustus lalu. Ketika itu, kelompok militan etnis Rohingya yang marah menyerang sekitar 30 pos-pos polisi di perbatasan dan sebuah kamp Angkatan Darat Myanmar disana.
Terkait ketegangan di Negara Bagian Rakhine, Dewan Keamanan PBB untuk kedua kalinya sejak aksi kekerasan meletup, akan melakukan pertemuan tertutup pada Rabu (13/9). Duta Besar Inggris untuk PBB, Matthew Rycroft mengatakan pihaknya berharap akan ada pernyataan terbuka yang telah disepakati Dewan Keamanan PBB. Akan tetapi, beberapa kelompok hak asasi manusia (HAM) mengecam Dewan Keamanan PBB karena tidak menggelar sebuah pertemuan publik. Menjawab kecaman ini, sejumlah diplomat mengatakan Tiongkok dan Russia kemungkinan akan keberatan dengan gerakan semacam itu.
Pemerintah Myanmar menyebut pemberontakan yang dilakukan oleh etnis minoritas Myanmar sebagai aksi teroris. Sebaliknya, para pengungsi Rohingya yang kesal menyebut operasi keamanan yang dilakukan militer Myanmar ditujukan untuk mengusir penduduk etnis Rohingya keluar dari Myanmar.
Aksi kekerasan yang terjadi di Negara Bagian Rakhine, telah memaksa sekitar 400.000 penduduk suku Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Eksodus pengungsi Rohingya telah menjadi masalah paling pelik yang dihadapi Suu Kyi sejak sejak dilantik menjadi pemimpin Myanmar pada tahun lalu.
Tidak sedikit suara yang meneriakkan agar Suu Kyi mengembalikan anugerah Nobel perdamaian karena dia sudah dianggap gagal menghentikan aksi, yang disebut lembaga HAM PBB sebagai aksi pembersihan etnis.
Bantu Pengungsi
Lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan di seluruh dunia akan meningkatkan operasi mereka dalam merespons gelombang pengungsi Rohingya besar-besaran ke Bangladesh. Seorang pejabat senior PBB yang tidak mau dipublikasi identitasnya mengatakan anggaran sebesar 77 juta dollar AS yang diajukan PBB pada akhir pekan lalu, tampaknya tidak akan cukup untuk membantu para pengungsi Rohingya tersebut.
Sejumlah aparat penjaga perbatasan dari Bangladesh menyebut, jumlah orang yang melintasi wilayah perbatasan sekarang telah menurun signifikan. Kemungkinan lantaran semua orang telah meninggalkan distrik-distrik di Rakhine akibat aksi kekerasan.
Menanggapi ketidakadilan terhadap kelompok etnis Rohingya, pemerintah Amerika Serikat menyerukan kepada pemerintah Myanmar agar memberikan perlindungan terhadap seluruh masyarakat sipil.
Sedangkan pemerintah Bangladesh mengatakan agar seluruh pengungsi kembali ke Myanmar dan meminta adanya zona-zona aman di Myanmar. Sementara itu, pemerintah Tiongkok pada Selasa (12/9) lalu mengatakan mendukung upaya-upaya pemerintah Myanmar untuk mengawal stabilitas. uci/Rtr/I-1