Aung San Suu Kyi mengakhiri sikap tutup mulutnya terkait krisis kemanusiaan di Rakhine. Pemimpin de facto Myanmar itu menyatakan bahwa pemerintah yang dipimpinnya telah berusaha untuk menjaga seluruh warga negara.

YANGON - Peraih anugerah Nobel Perdamaian 1991, Aung San Suu Kyi, akhirnya angkat bicara soal suku Rohingya yang menjadi target aksi- aksi kekerasan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Suu Kyi sebelumnya dihujani kritik oleh negara-negara Barat karena bungkam terhadap penindasan yang dialami warga Muslim Rohingya di Rakhine.

Suu Kyi dalam pernyataannya tidak secara spesifik menyebut eksodus yang dilakukan kelompok minoritas Muslim Rohingya dan sebuah serangan yang dilakukan militer Myanmar. Dia hanya mengatakan pemerintah Myanmar telah berusaha untuk menjaga seluruh warga negara, terkait perselisihan di Rakhine.

"Kita harus melindungi seluruh warga negara, kita harus merawat semua orang di negara kita, baik itu warga negara ataupun bukan warga negara Myanmar," kata Suu Kyi kepada Asian News International, Kamis (7/9).

Dalam wawancara itu, Suu Kyi mengakui sumber tenaga yang dimiliki pihaknya belum sempurna dan memadai. Kendati demikian, pemerintah Myanmar melakukan yang terbaik dan memastikan bahwa setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum.

"Situasi di Rakhine selama berpuluh tahun sangat sulit dan sedikit tidak masuk akal untuk menyelesaikan konflik secara instan dan berharap lebih dari pemerintahannya, yang baru berkuasa di Myanmar selama 18 bulan," kata Suu Kyi.

Sebelumnya pada Selasa (5/9), Suu Kyi mengkambinghitamkan teroris atas kesalahpahaman informasi terkait perselisihan di wilayah barat laut Negara Bagian Rakhine, tetapi tidak menyebut sedikitpun warga Rohingya yang melarikan diri dari wilayah itu demi menyelamatkan diri.

Sementara itu pemerintah Myanmar menyatakan pasukan militer Myanmar sedang menjalankan kampanye melawan teroris yang harus bertanggung jawab atas sebuah serangan terhadap aparat kepolisian dan militer pada akhir Oktober tahun lalu. Pemerintah Myanmar telah menyebut pemberontak warga Rohingya sebagai kelompok teroris dan menyalahkan karena membunuh penduduk etnis lain di Rakhine dan membakar rumah-rumah mereka.

"Kita harus menghapuskan ancaman terorisme di berbagai wilayah," kata Ko Ko Hlaing, mantan penasihat presiden.

Eksodus Meningkat

Myanmar saat ini berada dalam tekanan khususnya negara-negara dengan populasi umat Muslim terbesar. Akhir pekan lalu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, memperingatkan ada sebuah potensi pembersihan etnis di Myanmar yang bisa membuat stabilitas kawasan terguncang.

Menjawab peringatan ini, pemerintah Myanmar mengatakan sedang bernegosiasi dengan Tiongkok dan Russia untuk memastikan mereka menolak setiap kecaman dari Dewan Keamanan PBB.

Hingga Kamis (7/9) warga Muslim Rohingya yang menyelamatkan diri ke Bangladesh terus berdatangan. Para pengungsi tiba dengan kapal-kapal yang bermuatan penuh dan berlabuh di kawasan Cox Bazar, sebuah wilayah yang perbatasan di Bangladesh.

Akibat krisis kemanusiaan di Myanmar itu, diperkirakan saat ini warga Muslim Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh naik jadi 164.000 orang.

Beberapa kelompok hak asasi manusia menyebut para pengungsi Rohingya menceritakan telah dipaksa oleh militer Myanmar untuk meninggalkan tempat tinggal mereka di Rakhine. uci/Rtr/I-1

Baca Juga: