JAKARTA - Sebuah survei lembaga studi pertahanan, pada Rabu (20/3), menunjukkan 78,9 persen responden menyatakan Tiongkok mengancam kedaulatan negara-negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau Association of Southeast Asian Nations (Asean) termasuk Indonesia di Laut Tiongkok Selatan terkait konflik batas maritim.

Dikutip dari BenarNews, jajak pendapat yang dilakukan Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) bekerja sama dengan Litbang Kompas juga mencatat 73,1 persen responden menyatakan kedaulatan Indonesia terancam oleh Tiongkok di kawasan tersebut.

Menurut ISDS, mayoritas responden yang mendukung persepsi itu tergolong Gen Y (34 persen), Gen X (31,9 persen), Baby Boomer (22,3 persen), dan Gen Z (11,6 persen). Berdasarkan usia: Gen Z berusia 17-26 tahun, Gen Y antara 27 hingga 42, Gen X berusia 43 hingga 58 tahun, dan Baby Boomer lebih dari 58 tahun.

Sebagian responden menilai Asean sebagai mitra yang sesuai untuk memperkuat wilayah Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Malaysia menjadi negara Asean yang dipilih mayoritas responden sebanyak 49,5 persen, disusul Singapura 15,8 persen dan Filipina 12,7 persen.

Setelah Asean, negara yang dinilai cocok sebagai mitra Indonesia adalah AS (16,7 persen responden), Tiongkok (14,3 persen), Russia (8,4 persen), Jepang dan Uni Eropa sebanyak 3,9 persen dan 3,4 persen.

Co-Founder ISDS, Erik Purnama Putra, mengatakan survei ini menggambarkan bahwa publik Indonesia tidak suka dengan agresivitas kapal-kapal Tiongkok yang merangsek jauh dari wilayahnya untuk masuk ke wilayah-wilayah Indonesia.

"Padahal kan itu wilayah perairan kita, tapi kapal coast guard dan kapal nelayan mengeklaim itu wilayah mereka," ujar Erik.

Kesadaran Masyarakat

Peneliti Litbang Kompas, Dimas Okto Danamasi, mengatakan survei ini digelar untuk mengukur kesadaran masyarakat terkait kedaulatan negara dalam empat bentuk yakni kedaulatan politik, ekonomi, budaya, dan wilayah.

"Keempatnya ada dalam ketegangan politik di Laut Tiongkok Selatan," kata Dimas dalam konferensi pers daring di Jakarta pada Selasa (19/3).

Dimas mengatakan dari empat variabel itu, hampir 54 persen masyarakat menilai hal itu sebagai konflik wilayah yakni terkait dengan batas maritim, wilayah strategis, dan kebebasan jalur pelayaran, sedangkan hampir 30 persen merupakan konflik ekonomi yang berasal dari masalah sumber daya alam.

"Jadi, umumnya masyarakat menganggap konflik di Laut Tiongkok Selatan adalah masalah kedaulatan wilayah," ujar Dimas.

Penelitian dilakukan secara kuantitatif melalui survei jajak pendapat via telepon kepada 312 responden berusia 17-60 tahun dengan margin of error 5,6 persen. Wilayah survei ada di lima kota yaitu Medan, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Makassar.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Hadi Tjahjanto, mengatakan perlu kehati-hatian dalam menangani konflik di Laut Tiongkok Selatan karena melibatkan banyak pihak.

"Salah perhitungan akan membawa pada situasi konflik yang akan merugikan bersama. Tiongkok merupakan mitra komprehensif strategis bagi Indonesia dan Asean yang memiliki peran sentral dalam perdamaian dan stabilitas kawasan," ujarnya dalam konferensi pers peluncuran hasil survei di Jakarta.

Hadi mengakui proses perundingan Code of Conduct (CoC) melalui forum Asean-China Joint Working Group on COC sempat berjalan lambat.

Namun, katanya, atas inisiatif dan dorongan Indonesia sebagai Ketua Asean pada tahun 2023 lalu, Asean dan Tiongkok berhasil menyepakati percepatan perundingan COC yang dapat difinalisasi dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu pada tahun 2025.

"Kita semua berharap COC dapat menjadi sebuah dokumen yang efektif, substantif, dan actionable untuk menghindari eskalasi dan sekaligus meningkatkan mutual trust dan mutual confidence di antara negara-negara yang berkepentingan di LTS," ucapnya.

Baca Juga: