Kinerja impor bergerak lebih cepat dari tujuh bulan terakhir, di mana terlihat kenaikan sebesar 40 persen karena didorong oleh kenaikan impor migas yang meningkat hingga 148 persen.
JAKARTA - Surplus neraca perdagangan pada Juli lalu turun dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan tersebut pantas menjadi perhatian mengingat ketegangan geopolitik Tiongkok dan Taiwan dikhawatirkan dapat mempengaruhi sektor perdagangan nasional ke depan.
Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (15/8), melaporkan neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus 4,23 miliar dollar AS pada Juli 2022, yang sekaligus sebagai surplus ke-27 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Namun, angka tersebut lebih rendah dibandingkan capaian surplus pada Juni lalu sebesar 5,09 miliar dollar AS.
Surplus pada Juli ini berasal dari nilai ekspor sebesar 25,57 miliar dollar AS dan impor 21,35 miliar dollar AS. Catatan positif tersebut banyak ditopang oleh surplus komoditas nonmigas. Perdagangan nonmigas Indonesia mengalami surplus 7,31 miliar dollar AS pada Juli 2022, sementara, perdagangan migas RI mengalami defisit 3,08 miliar dollar AS.
Pilarmas Investindo Sekuritas menilai kinerja impor bergerak lebih cepat dari tujuh bulan terakhir, di mana terlihat kenaikan sebesar 40 persen, yang didorong oleh kenaikan impor migas yang meningkat hingga 148 persen. "Surplus neraca perdagangan pun mengalami perlambatan dengan penurunan ekspor dan kenaikan impor," demikian pernyataan Pilarmas, kemarin.
Capaian surplus tersebut justru tidak mendapatkan respons positif dari pelaku pasar keuangan. Indikasinya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan niali tukar rupiah terhadap dollar AS justru melemah.
"Tergerusnya surplus perdagangan akibat meningkatnya impor BBM, yang juga menjadi sentimen negatif buat rupiah," imbuh analis Global Kapital Investama, Alwi Assegaf.
Risiko Geopolitik
Penurunan surplus perdagangan tersebut seharus menjadi alarm peringatan bagi pemerintah. Sebab, prospek neraca perdagangan Indonesia ke depan cukup menantang, terlebih di tengah peningkatan tensi geopolotik antara Tiongkok dan Taiwan.
Deputi Bidang Statistik Distribusi Dan Jasa BPS, Setianto, memperingatkan Indonesia perlu mewaspadai ketegangan geopolitik Tiongkok dan Taiwan yang tengah terjadi karena dapat mempengaruhi sektor perdagangan. "Perkembangan ini perlu kita waspadai karena Tiongkok dan Taiwan juga penting dalam perdagangan internasional Indonesia," kata Setianto saat menggelar konferensi pers di Jakarta, awal pekan ini.
Setianto menyampaikan Tiongkok merupakan mitra dagang strategis Indonesia, dengan kontribusi terhadap ekspor maupun impor, di atas 20 persen dari total ekspor dan impor RI. Di sisi lain, ekspor Indonesia ke Taiwan juga cenderung mengalami peningkatan seperti tercatat dalam pendataan BPS.
"Terkait dengan Tiongkok dan Taiwan, kita ketahui bahwa Tiongkok dan Taiwan adalah eksportir utama untuk komponen elektronik dunia," ujar Setianto.
Adapun Tiongkok merupakan eksportir untuk komoditas sirkuit elektronik terpadu atau integrated circuits terbesar kedua di dunia dan eksportir komputer terbesar utama di dunia, termasuk office machine parts.
Sementara Taiwan, merupakan eksportir integrated circuits terbesar pertama di dunia dan eksportir office machine parts terbesar keempat di dunia. "Jadi, terkait dengan catatan geopolitik ini, Tiongkok dan Taiwan menjadi sangat strategis bagi perdagangan internasional indonesia," ujar Setianto.
Seperti diketahui, hubungan antara China dan Taiwan sempat memanas usai Ketua DPR Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi berkunjung ke Taipei.
Kendati demikian, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu, menilai dampak konflik Tiongkok dengan Taiwan terhadap perekonomian Indonesia sejauh ini cukup terbatas atau kecil, meski keadaan tersebut tetap harus diwaspadai. "Sejauh ini memang belum terlihat ada dampak yang cukup signifikan, akan tetapi kita tetap harus waspada," ucap Febrio.