JAKARTA - Rencana pemerintah memberikan subsidi bunga kredit senilai 34,15 triliun rupiah yang disalurkan kepada bank-bank besar guna membantu Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terdampak pandemi Covid-19 perlu diwaspadai terjadi konflik kepentingan atau moral hazard.

Skema bantuan itu juga diduga seperti fasilitas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Fasilitas Diskonto (Fasdis), dan Kredit Lukuiditas Bank Indonesia (KLBI) saat krisis moneter 1998 yang akhirnya disalagunakan pengelola dan pemilik bank saat itu, kemudian ditanggung negara hingga saat ini.

Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, menyebut ada kejanggalan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) senilai 34,15 triliun rupiah yang disalurkan kepada bank-bank besar guna membantu UMKM.

"Bantuan itu tidak akan sampai kepada yang membutuhkan, karena ada konflik kepentingan. Dana itu juga memiliki kemungkinan besar akan diselewengkan dan akan menjadi seperti BLBI," katanya di Jakarta, Kamis (14/5).

Menurut Uchok, alangkah mulianya jika dana sebanyak 34,15 triliun rupiah itu dibagikan kepada rakyat jelata. "Lebih bermanfaat untuk rakyat jelata," ujarnya.

Dia menambahkan, sebelum program itu jalan, Kementerian Keuangan juga wajib membuka nama-nama bank yang mendapatkan suntikan dana dari pemerintah. "Kalau tidak transparan, itu tidak ada bedanya dengan sebelumnya, BLBI dan KLBI. Karena itu semua akibat kredit macet kepada debitur. Bisa jadi nantinya banyak KTP bodong yang dijadikan kredit," paparnya.

Mesti Selektif

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi XI DPR, Amir Uskara, mengatakan pemerintah harus mengkaji dengan cermat dengan melihat track record pemilik bank di masa lalu. "Jangan sampai pernah bermasalah terus banknya ditunjuk lagi jadi bank jangkar," katanya.

Menurut Amir, pemberian BLBI di masa lalu itu telah membuat pemilik bank yang dulu bermasalah keluar dari jerat utang, bahkan ada yang kembali masuk jadi jajaran pengusaha kaya di Indonesia. Sedangkan dampak dari penyaluran likuiditas dan penempatan rekap bond kala itu terus membebani keuangan negara hingga saat ini. Sebab, surat utang yang ditempatkan pemerintah di bank saat itu, masih terus dibayar bunganya sepanjang tidak dibeli kembali oleh pemerintah.

"Dalam menjalankan fungsi pengawasan anggaran, kami berharap OJK dan pemerintah selektif menetapkan bank jangkar, jangan sampai ada lobi-lobi dalam membuat keputusan," kata Amir Uskara.

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Utama Bank BRI, Sunarso, mengakui bahwa bank-bank terutama BRI terdampak dengan restrukturisasi kredit perbankan, karena nasabahnya dominan UMKM.uyo/bud/AR-2

Baca Juga: