Banda Aceh - Kesuksesan tak melihat asal usul, keturunan atau latar belakang pendidikan yang tinggi, melainkan bisa diraih siapapun, bahkan oleh orang yang tidak memiliki pengalaman dalam bidang yang digeluti.
Berangkat dari kisah Azizah Adek (35), perempuan kelahiran Aceh Besar ini menjadi pebisnis kuliner setelah turun dari hutan belantara sebagai pejuang perempuan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau disebut dengan nama Inong Balee GAM, atau pasca perdamaian MoU Helsinki 2005 silam.
Azizah memulai bisnisnya pertama pada 2017 dengan memanfaatkan teknologi, lewat media sosial instagram ia memposting makanan yang dimasak nya, hingga mendapatkan pelanggan setia.
"Sebelum membuka restoran, saya mulai dengan menjual makanan dari rumah secara online, bagian dari memanfaatkan teknologi," kata Azizah.
Ketertarikannya menjual online itu karena "terhipnotis" dengan kegiatan orang-orang yang diikutinya di dunia maya secara terus-terusan memposting penawaran produk kepada pengguna media sosial lainnya.
Sejak saat itu lah kemudian ia bertekad memulai bisnis kulinernya secara online, dan terus dipertahankan sampai sekarang. Kini, followers di instagram sudah mencapai 39,9 ribu pengikut.
"Maka waktu itu muncul ide saya untuk menjual makanan melalui media sosial. Saya lihat minat orang untuk media sosial luar biasa, tapi saya tidak ingin hanya jadi penonton. Saya harus menjadi bagian dari orang yang juga menjual hasil produk makanan saya," ujarnya.
Pilihannya bergelut di dunia usaha kuliner ini juga berkat dukungan hobinya yang suka memasak. Bahkan, untuk mendapatkan cita rasa yang khas, ia harus belajar memasak bertahun-tahun dengan sang nenek.
Ia mengaku, baru bisa fokus menggeluti profesi masak-memsak setelah situasi di wilayah itu damai. Lebih kurang selama 15 tahun proses dia belajar masak.
Restoran Khas Aceh
Azizah mulai serius dengan bisnis kuliner nya itu sekitar dua tahun lalu yakni 2019, ia bertekad membuka sebuah rumah makan dengan rasa khas Aceh di ibu kota Provinsi Aceh.
Fokus menjalankan usaha, Azizah kemudian melepas- semua jabatannya yang berhubungan dengan organisasi, perkantoran hingga dunia perpolitikan Aceh. Bahkan posisinya sebagai Panglima Inong Balee GAM Aceh pun ditinggalkan.
Sebelumnya, selain memegang amanah sebagai Panglima Inong Bale, Azizah memiliki posisi penting di partai politik lokal, yaitu sebagai Bendahara Partai Aceh Kota Banda Aceh.
Ia juga meninggalkan pekerjaannya sebagai staf di kantor Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Meski jabatan itu dilepasnya, namun ternyata Azizah sempat menyelesaikan kuliah sarjana Administrasi Negara di Universitas Iskandar Muda (Unida) Banda Aceh.
"Saya ingin fokus mengelola usaha yang sedang saya geluti saat ini. Maka semuanya yang berhubungan dengan politik sudah saya tinggal," kata Azizah.
Dengan membuka usaha rumah makan ia bisa membantu orang lain dengan memberikan pekerjaan, bahkan ikut membantu mengurangi pengangguran.
Saat ini, jumlah karyawan di rumah makan khas Aceh yang dinamai Dapur Asik Ummi itu mencapai 21 orang, dengan sistem kerja shift tim hari dan malam.
Di rumah makan Dapur Asik Ummi ini, tersedia berbagai menu makanan khas Aceh seperti kuah beulangong (kari kambing/sapi), ayam goreng, udang windu goreng, sie reuboh (daging rebus), hingga tiram.
Selanjutnya, juga ada keumamah khas Aceh (ikan yang dimasak basah dan kering), kuah pliek chu (gulai siput), serta berbagai bermacam sajian khas hasil buatan tangannya.
Di malam hari tersedia menu seperti nasi goreng, khusus yang memiliki nilai sejarah, mie sop sengkel dan menu khusus yaitu "lontong konflik legendaris".
Nama "lontong konflik legendaris" punya sejarah penting, yang dikaitkan dengan situasi ketikamasih berjuang sebagai Inong Balee GAM.
Di mana, saat konflik dulu dirinya harus turun gunung karena hendak melahirkan anak pertama, dan salah satu cara ia bersembunyi dengan menyamar sebagai pedagang lontong.
"Alhamdulillah dari jualan lontong saat menyamar itu ternyata mendapat hati dari para penikmat. Maka karena ada nilai sejarah itu saya buat namanya ini "lontong konflik legendaris," ujarnya.
Sebelum dilanda pandemi COVID-19 usahanya memiliki omzet dalam sehari berkisar Rp25 juta sampai Rp40 juta. Namun, akibat virus itu mengalami penurunan sekitar Rp17 juta per hari.
"Tapi meski demikian saya tetap bersyukur. Alhamdulillah, usaha masih berjalan dengan pendapatan cukup, dan tidak ada pegawai yang harus kehilangan pekerjaan, semuanya masih normal," kata Azizah.
Azizah memang sudah membuka rumah makan, tetapi penjualan secara online masih dijalankan. Bahkan, salah satu penopang usahanya tetap berjalan lancar sampai hari ini karena dukungan pelanggan yang memesan online.
"Penjualan dan promosi melalui online masih tetap kita lakukan. Bahkan selama pandemi COVID-19 ini lebih banyak pelanggan memesan online dari pada yang datang ke restoran," ujarnya.
Azizah menceritakan, dirinya bergabung dengan pasukan perempuan GAM pada 1999 silam, dengan bantuan seorang panglima operasi GAM di wilayah Aceh Besar.
Saat itu ia masih di bawah umur yakni baru berusia 14 tahun. Berawal dari rasa penasaran tentang GAM, akhirnya ia membulatkan niat, nyali, dan tekadnya ingin menjadi pejuang GAM.
Niatnya itu juga karena termotivasi dengan sejarah pejuang perempuan Aceh dahulu seperti Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, Laksamana Malahayati serta pejuang dari Aceh lainnya.
Setelah diterima, ia bersama 13 rekannya dikirim ke pusat pelatihan GAM di wilayah pegunungan Jiem Jiem Kabupaten Pidie Jaya, Aceh.
Di lokasi itu, ia mendapatkan pelatihan dari pasukan GAM lulusan Libya hingga selesai. Selama bergabung dalam gerakan, Azizah terlibat beberapa kali terlibat dalam kontak senjata, dan dihujani peluru.
Ia mengaku, sempat diremehkan karena masih muda dengan postur tubuh yang kecil. Namun berkat semangat dan kegigihannya ia bisa melewati pelatihan.