Pemerintah harus mencabut subsidi energi fosil dan lebih fokus mengembangkan energi baru terbarukan.

JAKARTA - Arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada jajaran menterinya dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 agar menekankan pentingnya Indonesia memiliki sumber energi murah harus ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan. Sebab, dengan kebijakan yang implementatif, maka ke depan akan diupayakan membangun sumber-sumber energi murah yang menopang ekonomi Indonesia agar tumbuh berkesinambungan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (28/3) mengatakan Presiden menekankan ketersediaan sumber energi juga perlu diperoleh dengan biaya yang murah, agar pertumbuhan ekonomi yang tercipta sejalan dengan inflasi yang terkendali.

"Energi yang murah ini penting seperti pada saat masa pandemi Covid-19. Saat itu, faktor inflasi sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga energi dan makanan di berbagai negara," kata Airlangga.

Selain ketersediaan energi murah, Presiden kata Airlangga dalam penyusunan RPJPN 2025-2045 meminta untuk membahas langkah agar Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).

Dari bidang pendidikan, Kepala Negara juga meminta ada strategi besar yang memberikan penekanan pada pendidikan vokasi. Sedangkan dari sektor industri, Presiden meminta kontribusi manufaktur yang saat ini 18 persen terhadap perekonomian dapat meningkat menjadi 20 persen pada 2045.

Perlakuan Belum Sama

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa yang diminta pendapatnya mengatakan, sumber energi murah saat ini adalah energi terbarukan. Masalahnya, energi terbarukan belum mendapatkan perlakuan yang sama dengan energi fosil.

Pemerintah khususnya Menko Perekonomian katanya seharusnya sadar bahwa energi fosil seperti batubara dan gas bisa murah karena subsidi yang diberikan pemerintah dalam bentuk kebijakan harga Domestic Market Obligation (DMO) batu bara dan harga gas untuk pembangkit listrik. "Tanpa subsidi, harga listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara mencapai 2000-2500 per kilo watt hour (kWh) dengan harga batubara di pasar saat ini," jelas Fabby.

Kalau Indonesia ingin punya energi murah, maka harus memperbanyak pemanfaatan energi terbarukan. Memang efeknya tidak langsung dirasakan jangka pendek tetapi seiring dengan meningkatkatnya kapasitas energi terbarukan biaya pembangkitan listrik lebih murah.

Kajian IESR menunjukkan jika bauran energi terbarukan diatas 35 persen di sistem Jawa-Bali dan Sumatra maka rata rata biaya pembangkitan lebih rendah sekitar 20 persen dibandingkan jika pembangkit listrik termal mendominasi sistem ini.

"Pemerintah perlu melakukan phase out subsidi energi fosil dan mendorong pemanfaatan energi terbarukan skala besar secepat mungkin,"tandas Fabby.

Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan, pernyataan presiden memang benar, sebab ke depan harga energi akan semakin mahal.

"Otomatis untuk menggerakkan ekonomi, terutama industri, tidak bisa lepas dari kebutuhan energi. Dengan tren harga energi yang semakin mahal, maka akan membatas daya saing industri kita, terutama untuk pasar ekspor yang ini akan berdampak pada pertumbuhan," kata Leo.

Adopsi energi terbarukan kata Leo menjadi jawaban energi murah untuk dipasok ke industri supaya lebih efisien dan output-nya lebih kompetitif.

Lupakan Fosil

Sementara itu, pengamat energi dari Universitas Gajah Mada, Fahmi Radhi mengatakan energi dan pangan merupakan tonggak penting perekonomian sebuah bangsa. Kalau Pemerintah fokus mengembangkan energi murah, sebaiknya melupakan energi fosil karena produksinya terus menurun dan tidak bisa diperbarui lagi.

Begitu pula dengan rencana Kementerian ESDM mengembangkan energi nuklir dinilai tidak tepat karena membutuhkan keamanan tingkat tinggi sementara masyarakat Indonesia disiplinnya rendah. Nuklir juga dinilai tidak masuk kategori renewable atau terbarukan, sebab sangat mengancam lingkungan, terutama pembuangan limbah radioaktifnya, pasti butuh biaya yang tinggi.

Apalagi, hampir semua wilayah Indonesia berada di wilayah ring of fire atau cincin api, sehingga sangat rentan dengan gempa yang bisa membuat kebocoran seperti yang pernah terjadi di reaktor nuklir Jepang di Fukushima beberapa waktu lalu. "Jadi ada isu lingkungan, kalau merencanakan energi sudah tidak memasukkan energi fosil, tetapi fokus ke energi baru dan terbarukan dengan membuat EBT tersedia dan bisa dijangkau masyarakat," kata Fahmi.

Indonesia jelas Fahmi memiliki banyak sumber daya yang beragam dan jumlahnya melimpah seperti tenaga surya, biodiesel, bahkan sampah, menunggu untuk dikembangkan menjadi EBT. Tinggal mengembangkan teknologi dan inovasinya agar semua komponennya bisa dipenuhi dalam negeri.

Baca Juga: