» Pemda tidak mempunyai rencana kerja yang matang dan masih banyak yang belum dipertanggungjawabkan.

» Belanja pemerintah sangat dibutuhkan untuk menciptakan multiplier effect ekonomi.

JAKARTA - Pemulihan ekonomi sulit berjalan sesuai dengan harapan jika pemerintah daerah (pemda) kurang mendukung dalam menjalankan program di masing-masing daerah. Hal itu terlihat pada masih tingginya idle fund (dana menganggur) di Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang mencapai 182 triliun rupiah yang sempat disoroti Presiden Jokowi.

Padahal, pertumbuhan ekonomi saat ini lebih banyak bertumpu pada konsumsi yang ditopang oleh belanja negara, baik pemerintah pusat maupun dana transfer ke daerah. Dana-dana tersebut lebih banyak peruntukannya dalam bentuk stimulus seperti bantuan sosial untuk mendongkrak daya beli masyarakat.

Pakar Ekonomi dari Universitas Katolik (Unika) Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, di Jakarta, Minggu (9/5), mengatakan masih besarnya porsi dana menganggur di daerah menyebabkan tersendatnya pemulihan ekonomi dengan cepat.

"Pertumbuhan tersendat karena tidak terciptanya multiplier pertumbuhan yang besar, mestinya itu dirasakan di tingkat daerah, tetapi karena banyak dana yang nganggur efek itu tak terjadi," kata Suhartoko.

Menurut dia, tingginya dana menganggur karena sejumlah hal, di antaranya sistem dan prosedur pencairan dana untuk pengendalian yang terlalu rumit dan sulit dimengerti pemda, sehingga pencairan dana berjalan lamban.

Selain itu, kemungkinan ada ketakutan pemda dalam melanggar standar operasional prosedur (SOP ).

Pemda, jelasnya, tidak mempunyai rencana kerja dan implementasi yang matang serta masih banyaknya dana yang belum dipertanggungjawabkan pada periode sebelumnya menyebabkan hambatan dalam pencairan.

"Terakhir, bisa saja ada unsur kesengajaan oknum-oknum pejabat pemda untuk mendapatkan manfaat dari dana menganggur," kata Suhartoko.

Konsumsi Lemah

Secara terpisah, Guru Besar Ekonomi dari Universitas Brawijaya, Malang, Candra Fajri Ananda, mengatakan konsumsi rumah tangga yang lemah menjadi penyebab utama upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan berjalan lamban.

"Sebenarnya tren ekonomi sudah menunjukkan angka-angka yang menjanjikan, kalau kita lihat angka Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur yang naik, kemudian angka penjualan ritel serta tingkat kepercayaan konsumen yang terus tumbuh tinggi," kata Candra.

Kendati demikian, pemerintah, jelasnya, harus mengakui masih ada kendala untuk ekonomi bisa tumbuh seperti yang diharapkan, terutama konsumsi rumah tangga, masih tumbuh negatif. Hal itu menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat untuk berbelanja dan mengonsumsi barang dan jasa masih rendah.

"Untuk itu di kuartal kedua, di saat vaksinasi sudah menjangkau lebih banyak masyarakat dan penanganan pandemi lebih bagus, termasuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) berjalan dengan baik termasuk belanja pemerintah, maka kuartal II akan positif pertumbuhan ekonominya," kata Candra.

Padat Karya

Presiden Joko Widodo saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas), pekan lalu, mengingatkan para kepala daerah baik, gubernur, wali kota, dan bupati bahwa fondasi paling awal dari pemulihan ekonomi adalah pengendalian Covid-19 di masing-masing wilayah.

Di saat yang sama, belanja pemerintah, kata Kepala Negara, juga harus dipercepat, terutama untuk program bantuan sosial dan padat karya. Selain itu, sisi permintaan juga harus diperbesar dengan mendorong belanja masyarakat.

"Kemarin saya sudah mengingatkan, di akhir Maret 2021, di perbankan masih ada uang APBD provinsi, kabupaten, dan kota sebesar 182 triliun rupiah, yang seharusnya itu segera dibelanjakan untuk memperbesar sisi permintaan, sisi konsumsi," kata Presiden.

RI sebenarnya bisa keluar dari resesi pada triwulan I-2021 seandainya pemda tidak menahan dana transfer daerah.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto, saat mengumumkan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2021 yang masih minus 0,74 persen mengatakan salah satu yang menghambat ekonomi tumbuh positif adalah realisasi APBD, terutama belanja barang jasa dan pegawai yang mengalami kontraksi.

Padahal dalam situasi sekarang, belanja pemerintah sangat dibutuhkan untuk menggenjot kembali perekonomian.

n ers/SB/E-9

Baca Juga: