JAKARTA - Presiden Joko Widodo dalam sambutannya pada pembukaan Trade Expo Indonesia ke-39 di Tangerang, Banten, mengingatkan bahwa Indonesia sebagai negara dengan pasar terbesar dan jumlah penduduk 280 juta jiwa harus mampu melindungi pasar domestik dan terus merambah pasar ekspor, apalagi dengan kondisi saat ini di mana Tiongkok sudah kelebihan produksi.
Menanggapi pernyataan Presiden itu, Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, mengatakan tidak ada negara yang bisa menjadi pemimpin pasar jika tidak memiliki fondasi yang kuat dalam hal finansial dan infrastruktur, kebijakan dan birokrasi yang efisiensi.
"Mustahil tanpa dukungan itu, produsen Indonesia dapat bersaing di pasar global," tegasnya.
Dengan dukungan finansial dan infrastruktur, negara-negara yang memiliki fondasi kuat pada sektor tersebut berhasil menjadi pemain utama di pasar global, seperti Jepang, Jerman, Korea Selatan, karena memiliki sistem pembiayaan yang kuat dan jaringan infrastruktur yang memadai.
"Hal ini memberikan mereka keunggulan kompetitif dalam memproduksi barang yang bernilai tambah tinggi, seperti otomotif, elektronik, dan produk teknologi lainnya," terang Badiul.
Kebijakan yang berpihak dan proindustri seperti kebijakan pajak yang menguntungkan, regulasi yang fleksibel, serta subsidi langsung atau tidak langsung, merupakan faktor pendorong.
Misalnya, subsidi energi di Tiongkok dan perlindungan regulasi di Amerika Serikat (AS) untuk sektor-sektor strategis adalah contoh nyata intervensi untuk memastikan daya saing industri mereka.
Reformasi birokrasi juga penting karena negara dengan sistem birokrasi yang efisien dan bersih dari korupsi cenderung lebih mudah menarik investasi dan mendukung pertumbuhan industri.
"Hambatan birokrasi yang tinggi, seperti perizinan yang berbelit-belit atau biaya tambahan untuk mengurus administrasi, dapat menurunkan daya saing dan merugikan produsen lokal," paparnya.
Hal yang tidak kalah penting adalah dukungan kebijakan yang berorientasi jangka panjang untuk memastikan keberlanjutan dan konsistensi dukungan terhadap industri.
"Fluktuasi kebijakan, perubahan regulasi yang tiba-tiba, atau ketidakstabilan politik dapat membuat produsen kehilangan pijakan di pasar global," kata Badiul.
Peran Aktif Negara
Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, menegaskan bahwa tanpa dukungan yang kuat dari pemerintah, tidak akan ada negara di dunia yang mampu menjadi eksportir unggul untuk produk bernilai tambah.
Dukungan tersebut meliputi berbagai aspek, mulai dari pembiayaan, pengembangan infrastruktur, penyediaan fasilitas kebijakan negara, hingga pemberian subsidi baik langsung maupun tidak langsung.
Dia memandang peran aktif negara dalam memfasilitasi industri menjadi kunci dalam mendorong daya saing di pasar global.
"Sejarah mencatat bahwa negara-negara yang berhasil menjadi eksportir terkemuka produk bernilai tambah memiliki sokongan negara yang kuat.
Dukungan tersebut hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari kebijakan fiskal yang kondusif, ketersediaan infrastruktur modern, hingga subsidi yang secara langsung maupun tidak langsung menekan biaya produksi bagi produsen lokal," ujar Aditya.
Subsidi langsung seperti potongan harga energi atau bantuan langsung tunai bagi sektor produksi, serta subsidi tidak langsung berupa kebijakan perdagangan yang memihak produsen lokal, merupakan bagian penting dari strategi negara dalam mendorong pertumbuhan industri nasional.
"Dalam konteks ekonomi global yang semakin kompetitif, keberadaan infrastruktur yang memadai serta fasilitas kebijakan yang mendukung menjadi fondasi penting bagi negara eksportir.
Infrastruktur yang baik, seperti pelabuhan, jalan, dan jaringan logistik, memperlancar aliran barang dari produsen ke pasar internasional.
Tanpa dukungan infrastruktur ini, mustahil bagi suatu negara untuk mampu bersaing dalam skala global," lanjutnya.
Untuk menjadi eksportir unggul, negara harus bebas dari "rongrongan birokrasi" yang kerap kali menjadi hambatan utama dalam mendorong pertumbuhan industri.
Menurutnya, birokrasi yang berlebihan dan tidak efisien dapat menghambat inovasi serta memperlambat laju produksi.
"Banyak pelaku industri yang mengeluhkan kompleksitas birokrasi di negara kita.
Jika tidak segera dibenahi, hal ini bisa menjadi hambatan serius bagi upaya kita untuk bersaing di pasar global.
Birokrasi yang lamban dan tidak transparan sering kali menjadi kendala utama bagi produsen lokal untuk memperluas pasar mereka ke luar negeri," katanya.
Sementara itu, pakar pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Ramdan Hidayat, mengatakan Indonesia akan sulit mencapai kemandirian pangan, apalagi eksportir jika negara tidak hadir untuk melakukan back up secara finansial, infrastruktur, kebijakan, maupun subsidi langsung dan tidak langsung.
"Masalahnya, kebijakan pemerintah belum terintegrasi dari hulu sampai hilir, termasuk keberpihakan, istilahnya afirmasi pada petani.
Kalau tidak, kita akan bergantung impor," kata Ramdan.
Negara maju sekalipun, paparnya, masih melakukan subsidi, sementara Indonesia masih setengah, tidak semua petani menikmati.
Kebijakan subsidi BBM semua orang menikmati termasuk ekspatriat.
Tapi, tidak semua petani dapat pupuk dan bibit bersubsidi.
Inilahnya yang membuat pertanian tidak menarik bagi generasi muda dan investor.
Sebab, banyak kebijakan yang tidak pro petani akibat manajemen pemerintahan yang tidak terintegrasi.