» Asia adalah mangkuk makanan dunia, menghasilkan 40 hingga 45 persen daging di dunia.
» Perlu upaya bersama memacu sektor pangan dan pertanian yang mengefisienkan energi sehingga tujuan Perjanjian Paris tercapai.
SINGAPURA - Sepuluh ekonomi terbesar di Asia perlu melakukan diversifikasi antara 30 dan 90 persen dari produksi protein tradisional mereka ke protein alternatif pada 2060, guna mengurangi emisi karbon dan mencapai tujuan Perjanjian Paris.
Laporan terbaru yang diterbitkan Asia Research and Engagement (ARE), baru-baru ini menyebutkan emisi dari produksi dan sumber protein hewani semakin membahayakan industri makanan, keuntungan, dan pembiayaannya.
Dikutip dari The Straits Times, laporan perusahaan sosial yang bekerja untuk pembangunan berkelanjutan tersebut menyatakan peternakan yang menjadi sumber utama protein di sebagian besar pasar, dan padat energi, menyumbang 68 persen emisi dalam industri makanan, dan membutuhkan lebih banyak lahan dan sumber daya daripada makanan nabati.
Direktur Transisi Protein di ARE, Kate Blaszak, mengatakan dengan konsumsi protein global yang meningkat 45 persen dalam dua dekade pertama abad ini, Asia menyumbang 60 persen dari pertumbuhan tersebut. Sebab itu, ada kebutuhan mendesak untuk diversifikasi sumber protein untuk meminimalkan emisi karbon.
"Jika kita tidak bertransisi, kita tidak akan mencapai tujuan Perjanjian Paris," katanya.
Tujuan menyeluruh dari kesepakatan tersebut adalah untuk menahan peningkatan suhu rata-rata global jauh di bawah 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, dan mengejar upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.
Blaszak menguraikan aspek-aspek tertentu dari transisi protein ini, meliputi protein hewani yang bertanggung jawab, tetapi terbatas melalui kerja yang adil, memastikan kondisi yang manusiawi di peternakan, serta nol deforestasi untuk ternak, dan sumber protein alternatif yang lebih berkelanjutan yang hemat energi dan biaya.
"Asia adalah mangkuk makanan dunia, menghasilkan 40 hingga 45 persen daging dunia," katanya.
Riset ARE berfokus pada 10 pasar terbesarnya, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Vietnam, Filipina, Malaysia, Thailand, India, dan Pakistan.
Semakin Parah
Berdasarkan penelitiannya, ARE menekankan bahwa pengurangan produksi protein hewani harus dimulai paling cepat pada 2030. Jika tindakan tidak diambil dan produksi protein terus berlanjut dalam kondisi seperti saat ini, dampak perubahan iklim akan semakin parah. Akibatnya, kata Blaszak, ketahanan pangan global akan terganggu.
"Kita akan melihat potensi ketidakamanan besar untuk tanaman biji-bijian yang memberi makan kami secara langsung, atau pergi ke pakan ternak, (dan akan ada) dampak besar pada produksi hewan karena panas, penyakit, dan perubahan lainnya," katanya.
Dia menyoroti Singapura dengan tingkat konsumsi protein hewani yang tinggi 205.600 ton ayam saja pada 2020, perlu mendiversifikasi sumber proteinnya.
"Pangan dan pertanian adalah sektor yang sulit untuk dikurangi," jelas Dave Luo Jiaxuan, analis di ARE, yang berarti melibatkan emisi tinggi dan sulit untuk didekarbonisasi.
"Rantai pasokan dan cara pelepasan emisi di seluruh rantai pasokan sangat tersebar," jelas Luo.
"Misalnya, banyak pakan ternak kami yang kami dapatkan dari Tiongkok, berasal dari Amerika Selatan".
Ini berarti bahwa upaya lintas batas bersama harus segera dilakukan untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris.
Luo menekankan perlunya upaya antarbenua, karena sektor pangan dan pertanian memerlukan kolaborasi antara pihak-pihak pada rantai pasokan yang sama, tetapi di wilayah geografis yang sangat berbeda. Demikian pula negara-negara dapat bekerja sama untuk mendiversifikasi produksi sumber protein alternatif.
Menurut Direktur Program Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Teknologi Nanyang, William Chen, prakarsa Pan- Asia adalah "sinergis dan saling melengkapi untuk diversifikasi sumber protein sehingga satu negara tidak perlu memproduksi semua jenis protein alternatif di negaranya sendiri.
Sedangkan John Cheng, Pendiri dan Direktur Pelaksana Innovate 360, akselerator pangan pertama Singapura, mengatakan penting untuk menyatukan para pemikir, perusahaan rintisan, dan pendanaan terbaik untuk mengatasi perubahan iklim.
Singapura yang berjuang untuk menjadi pusat makanan alternatif memiliki banyak proyek penelitian dan pengembangan yang mencari sumber protein alternatif yang hemat energi.
Chen mengutip beberapa proyek semacam itu termasuk Altimate Nutrition, yang memproduksi batang protein menggunakan serangga atau protein berbasis jamur yang dikembangkan para ilmuwan di Universitas Teknologi Nanyang yang bisa lebih bergizi daripada pilihan daging nabati lainnya.
Perubahan Kelembagaan
Direktur Pelaksana Good Food Institute APAC, Mirte Gosker, menyoroti proyek ilmuwan Singapura, Mark Richards di Nanyang Polytechnic. Dia mencari cara untuk menutup kesenjangan harga daging budi daya dengan mengganti bahan-bahan hewani mahal yang ada, seperti serum hewani yang biasa digunakan, pilihan berbasis tanaman yang lebih hemat biaya. Masalahnya, terutama karena upaya berkelanjutan semakin beralih ke sumber makanan alternatif.
Di luar pengembangan, penelitian ARE menargetkan para pelaku seperti pembuat kebijakan, bank, dan perusahaan makanan, termasuk Charoen Pokphand Foods di Thailand, CJ CheilJedang di Korea Selatan, dan Bank DBS dapat melakukan perubahan kelembagaan yang lebih besar untuk memfasilitasi adopsi yang lebih besar.
Pada tingkat individu, Luo mengimbau penduduk Singapura untuk menjadi "fleksitarian" dan memasukkan lebih banyak makanan nabati ke dalam pola makan mereka guna mengurangi tingkat konsumsi daging.
"Ini masalah kesadaran, mengubah kebiasaan untuk melakukan bagian kita menjadi ramah iklim," tambah Cheng.
Baik individu maupun aktor yang lebih besar harus melakukan upaya bersama untuk memacu sektor pangan dan pertanian menuju efisiensi energi sehingga tujuan Perjanjian Paris dan keamanan iklim secara keseluruhan dapat tercapai.
"Jika Asia tidak memikirkan kembali bagaimana daging, produk susu, dan telur sampai ke piring kita, satu-satunya pertanyaan yang akan dibiarkan dunia tanyakan pada dirinya sendiri adalah, seberapa banyak kekurangan kita?" kata Gosker.