JAKARTA - Bank Indonesia diperkirakan akan kembali meningkatkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate pada Desember 2022 mendatang. Peneliti Maynard Arif, mengatakan untuk tahun depan, suku bunga acuan BI bergantung pada suku bunga acuan the Fed.
Maynard Arif yang juga Head of Research DBS Group, memperkirakan pada awal 2023 suku bunga acuan BI akan mencapai puncak tertinggi yakni sebesar 5,75 persen dan tidak meningkat lagi setelahnya. Dibandingkan bank sentral negara lain, pada 2022 BI lebih lambat menaikkan suku bunga acuan, tetapi sejak Agustus sampai November, BI telah meningkatkan suku bunganya dari 3,5 persen sampai 5,25 persen.
"Hal ini mungkin disebabkan performa rupiah lebih baik dibandingkan mata uang negara lain. Kita melihat tekanan itu ada, tetapi masih baik," katanya.
Adapun pada Desember 2022 BI diperkirakan akan kembali meningkatkan suku bunga acuannya untuk mengantisipasi tekanan terhadap rupiah yang masih berlanjut.
Sementara pada 2023, Maynard memperkirakan BI akan mengacu pada kebijakan bank sentral Amerika Serikat the Federal Reserve (the Fed) yang dipandang tidak akan agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. "Kenaikan suku bunga the Fed pada 2022 akan lebih kecil dibandingkan 2022. Kita melihat BI pun akan melakukan hal yang sama," katanya.
Sementara itu, ekonom Radhika Rao, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 bisa mencapai lima persen yang ditopang oleh permintaan dalam negeri yang kuat.
"Kami memproyeksikan pertumbuhan sebesar 5,4 persen pada 2022 dan sekitar 5 persen pada 2023 dengan dukungan permintaan domestik yang mengimbangi sebagian permintaan eksternal yang sulit," katanya dalam group Interview yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa (6/12).
Investasi juga diperkirakan akan tumbuh di 2023 karena dukungan kebijakan pemerintah yang menurunkan subsidi bagi masyarakat dan membuka ruang bagi pengeluaran pemerintah untuk pembangunan.
Sementara itu, ekspor akan melambat di 2023 dibandingkan 2022 karena harga-harga komoditas unggulan Indonesia berpotensi menurun, meskipun tidak kembali ke level sebelum pandemi.
Pelarian Modal
Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan target inflasi yg dicapai AS sampai pada Oktober memang tercapai yaitu 8 persen dan realisasinya di sekitar 7,8 persen.
"Hal ini memungkinkan agresivitas kenaikan suku bunga acuan akan menurun. Namun target inflasi AS sekitar 2,5 sampai dengan 3 persen, sedangkan kenaikan suku bunga the Fed masih akan terjadi," ungkap Suhartoko.
Ekspektasi itu, jelasnya, mendorong capital outflow yang cukup signifikan. "Inilah yang mendorong Bank Indonesia mendahului dan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan," kata Suhartoko.
Mekanisme transmisi moneter yang tidak berjalan lancar itu menyebabkan suku bunga kredit tidak begitu besar kenaikannya sehingga menjadi faktor yang mendorong bank sentral meningkatkan suku bunga acuan.