JAKARTA - Indonesia memiliki banyak bahan pangan lokal untuk menggantikan beras, gandum, dan kedelai yang harganya terus naik akibat kondisi politik global. Alternatif pangan lokal diharapkan sebagai solusi untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman krisis pangan dunia.

Guru Besar Ekonomi Pertanian Univeristas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, M Dwijono Hadi Darwanto, saat dihubungi Selasa (7/6), mengatakan konsumsi pangan lokal sebenarnya sudah dicanangkan 1982 lalu sebagai pengganti beras, namun nyatanya konsumsi beras per kapita justru terus naik.

Indonesia, katanya, harus belajar pada Jepang yang sudah berhasil mengurangi konsumsi beras sebagai makanan pokok dan menggantinya dengan berbagai komoditas lokal lainnya.

"Jepang, satu generasi lalu konsumsi berasnya sama dengan kita, 148 kilogram per kapita per tahun, sekarang tinggal 18 kg per kapita per tahun. Beras mereka ganti dengan sayur, buah, ikan, dan sebagainya. Nah, mengubah pola konsumsi ini penting, jadi nanti produksi akan mengikuti," kata Dwijono.

Dengan banyaknya alternatif pangan lokal, semestinya diikuti dengan upaya mengajak masyarakat agar menyukai komoditas lokal lainnya agar petani tetap bergairah menanam.

Pengembangan sorgum yang sekarang dicanangkan Presiden Jokowi, kata Dwijono, pernah dicoba di era Orde Baru, dan sukses. Sayangnya, masyarakat kurang terbiasa mengonsumsi sehingga lama-kelamaan produksi turun sendiri.

"Indonesia mesti mencontoh Jepang yang memulai sosialisasi dari anak sejak play group dan TK agar pola konsumsinya berubah. Aneka program makanan tambahan nonberas dikenalkan agar ketika beranjak dewasa sudah jadi kebiasaan," kata Dwijono.

Harus diprioritaskan

Secara terpisah, Pakar Pertanian dari UPN Jawa Timur, Surabaya, Akhmad Fauzi, mengatakan produk pertanian lokal harus didahulukan atau diprioritaskan ketimbang produk impor. Apalagi, Indonesia memiliki banyak bahan pangan lokal untuk menggantikan sejumlah komoditas yang masih diimpor.

Sementara itu, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan kolaborasi antarnegara untuk mencegah krisis pangan di dunia sangat penting karena ancaman krisis pangan ke depan sangat nyata.

Apalagi pandemi Covid-19 belum usai dan pemulihan ekonomi masih berlangsung. Dampak pandemi juga meninggalkan lonjakan utang akibat pengeluaran pemerintah untuk recovery lebih besar.

Di sisi lain, perang Russia dan Ukraina mengakibatkan krisis energi dan kenaikan harga energi di dunia.

Kolaborasi penting karena banyak negara ke depannya akan melakukan penundaan ekspor karena merekafokus pada upaya pemenuhan pangan di negaranya sendiri.

Baca Juga: