JAKARTA - Besarnya subsidi energi tahun ini yang diperkirakan mencapai 209,9 trilliun rupiah harus memberi manfaat langsung kepada masyarakat. Kenaikan anggaran secara drastis tahun ini harus memberi efek positif terhadap perekonomian riil masyarakat.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif menyampaikan realisasi subsidi energi pada 2022 sebesar 157,6 triliun rupiah terdiri dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan LPG sebesar 97,8 triliun rupiah, dan subsidi listrik sebesar 59,8 triliun rupiah.

"Subsidi energi dipertahankan untuk menjaga daya beli masyarakat dalam pemulihan ekonomi," ujar Arifin saat menyampaikan pernyataan pers terkait Capaian Kinerja Tahun 2022 dan Program Kerja Kementerian ESDM pada 2023 di Jakarta, Senin (30/1).

Adapun untuk 2023, Subsidi energi untuk diperkirakan masih besar mencapai 209,9 triliun rupiah. Rinciannya, subsidi BBM dan LPG sebesar 139,4 triliun rupiah, dan subsidi listrik sebesar 70,5 triliun rupiah.

Dalam kesempatan terpisah, Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyoroti kenaikan anggaran negara sekaligus ironi berkurangnya beberapa subsidi untuk rakyat. Dia mengungkapkan keprihatinannya atas pengurangan nilai manfaat dana haji, pembatasan subsidi pupuk, pengurangan subsidi BBM, kenaikan pajak PPN, hingga rencana kenaikan tiket KRL.

"Di tengah naiknya anggaran negara secara drastis menembus 3.041 triliun rupiah tetapi disisi lain banyak subsidi untuk rakyat perlahan dikurangi ini ironi di tengah perekonomian masyarakat yang belum pulih," kata Anis dikutip dari laman resmi DPR RI, Senin (30/1).

Risiko Inflasi

Dia menyampaikan dirinya akan senantiasa memperjuangkan agar tak ada pengurangan subsidi bagi rakyat, misalnya menahan kenaikan tarif listrik bagi golongan bawah serta LPG ukuran 3 kilogram. Dia mengingatkan tujuan bernegara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana yang tertuang dalam bagian pembukaan UUD 1945.

"Karena begitu terjadi kenaikan, angka inflasi akan semakin meningkat sehingga kualitas pertumbuhan ekonomi terdegradasi. Jadi kesejahteraan itu untuk kemaslahatan publik jangan bagi kelompok atau pribadi saja, jangan sampai mindset pemerintah itu bahwa rakyat adalah beban, seperti pernah disebut misalnya pensiunan ada beban negara, ini kan tidak pas dengan arah tujuan bernegara," ujarnya.

Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan negara (BAKN) DPR RI ini juga merasa prihatin dengan semakin beratnya beban rakyat yang dipicu dari kenaikan pajak, mulai dari naiknya tarif bea meterai hingga kenaikan PPN. Hal ini menjadi ironi di tengah berbagai insentif yang diberikan bagi kelas menengah atas.

"Insentif dan fasilitas perpajakan ada, tapi justru banyak diberikan kepada masyarakat berpendapatan tinggi. Sementara itu pemerintah justru terus mengejar sumber-sumber perpajakan dari masyarakat berpendapatan rendah, ini melukai rasa keadilan publik," tambahnya.

Baca Juga: