Tak hanya membuat frustasi, seseorang dengan gangguan pendengaran juga memiliki risiko yang besar terkena demensia.

Dalam sebuah penelitian yang melacak 639 orang dewasa yang telah berjalan selama hampir 12 tahun, direktur Pusat Pendengaran dan Kesehatan Masyarakat di Johns Hopkins Cochlear Center, Frank Lin dan rekannya menemukan bahwa gangguan pendengaran dapat berkontribusi pada tingkat atrofi yang lebih cepat di otak. Atrofi sendiri merupakan kondisi rusak atau hilangnya sel otak dan sambungan antar sel otak secara berkelanjutan.

"Gangguan pendengaran juga berkontribusi pada isolasi sosial. Anda mungkin tidak ingin terlalu sering bersama orang lain, dan saat Anda bersama Anda mungkin tidak terlalu sering terlibat dalam percakapan. Faktor-faktor ini dapat menyebabkan demensia," ujar Lin, seperti dilansir dari laman resmi John Hopkins Cochlear Center.

Penelitian menunjukkan bahwa orang dengan gejala ringan gangguan pendengaran berpotensi dua kali lebih mungkin untuk mengembangkan faktor demensia dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendengaran yang sehat. Sementara mereka dengan gangguan pendengaran berat mungkin lima kali lipat lebih mungkin mengembangkan demensia.

Dalam sebuah artikel Risk Factors of Dementia, yang dipublikasi pada jurnal The Lancet, gangguan pendengaran diperkirakan mencapai 8 persen dari kasus demensia. Ini berarti gangguan pendengaran mungkin bertanggung jawab atas 800.000 dari hampir 10 juta kasus baru demensia yang didiagnosis setiap tahun.

Melansir laman Asosiasi Alzheimer di Inggris, demensia sendiri merupakan serangkaian gejala yang dari waktu ke waktu dapat memengaruhi ingatan, pemecahan masalah, bahasa, dan perilaku. Demensia bukanlah bagian alami dari penuaan. Ini disebabkan ketika suatu penyakit merusak sel-sel saraf di otak. Sel-sel saraf membawa pesan antara berbagai bagian otak, dan ke bagian lain dari tubuh. Semakin banyak sel saraf yang rusak, otak menjadi kurang mampu bekerja dengan baik.

Satu hipotesis menunjukkan bahwa pendengaran yang buruk meningkatkan beban kognitif pada otak, yang perlu bekerja lebih keras untuk mendengar. Saat hal ini terjadi, otak mengorbankan sistem pemikiran dan memori lainnya, yang pada akhirnya dapat menyebabkan perubahan di otak.

Gangguan pendengaran juga menyebabkan orang menjadi kurang terlibat secara sosial, padahal sangat penting untuk tetap terstimulasi secara intelektual. Jika Anda tidak dapat mendengar dengan baik, Anda mungkin tidak terlalu sering keluar, sehingga otak kurang aktif. Faktor-faktor ini pada gilirannya dapat meningkatkan risiko demensia.

Kabar baiknya, identifikasi awal dan pengobatan kesulitan pendengaran dapat membantu menurunkan risiko demensia. Tanda-tanda gangguan pendengaran meliputi: lebih sering meminta orang untuk mengulangi apa yang mereka katakan, menghindari percakapan, kerap menemukan lingkungan yang bising menantang dan melelahkan, menyalakan volume radio atau televisi lebih keras dari biasanya dan merasa terisolasi dari orang lain.

Jika Anda mengkhawatirkan kualitas pendengaran, segera buat janji dengan dokter terkait atau audiolog untuk menentukan jenis dan besarnya gangguan pendengaran serta memberikan solusi penanganannya.

Johns Hopkins sendiri kini tengah memimpin studi tentang penuaan untuk melihat apakah alat bantu dengar dapat melindungi proses mental pada lansia. Studi ini memiliki telah merekrut hampir 1.000 orang berusia 70-84 tahun dengan gangguan pendengaran.

Satu kelompok diberikan alat bantu dengar, sementara kelompok lainnya menerima pendidikan lanjut usia. Pada awal 2023, penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil yang pasti tentang apakah mengobati gangguan pendengaran akan mengurangi risiko penurunan kognitif. Intinya, kita akan tahu apakah penggunaan alat bantu dengar berpotensi mengurangi penuaan otak dan risiko demensia.

Baca Juga: